Tuesday 31 May 2016

Kisah Masjid yang Dibangun dari Putih Telur


Begitu kaki menapak tanah di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, yang terasa adalah udara sejuk alami yang sejuk meski di siang hari. Semilir angin pantai membuat suasana semakin tenteram. Apalagi ketika menatap Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat. Masjid yang dibangun pada tahun 1803 ini menjadi landmark dan simbol Pulau Penyengat. “Masjid ini banyak dikunjungi wisatawan Malaysia dan Singapura,” kata Abdul Jalil, seorang pengurus Masjid Raya Penyengat. Pada hari Jumat, jamaah masjid ini juga berasal dari Kota Tanjungpinang.

Daya tarik masjid ini bukan sekadar warna kuning kehijauan yang membetot mata. “Masjid ini menjadi simbol kebesaran Kerajaan Melayu di masa lalu yang berkuasa hingga Pahang, Johor, dan Singapura,” katanya. Masjid in dibangun oleh Sultan Mahmud tahun 1803 yang direnovasi pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdul Rahman pada tahun 1832. Masjid ini memang menjadi penanda Pulau Penyengat bukan pulau sembarangan. Luas pulau ini tak seberapa, hanya 240 hektar. Lebarnya sekitar satu kilometer dengan panjang dua kilometer. Penghuni pulai ini pun tidaklah banyak, 2.500 jiwa atau 450-an keluarga.


Pulau ini sejak awal dikenal sebagai mas kawin atau mahar Raja Riau-Lingga, Sultan Mahmud Syah kepada permaisurinya, Engku Putri atau Raja Hamidah tahun 1801. Masjid yang masih berdiri megah sampai sekarang adalah salah satu warisan Kerajaan Riau Lingga. Dari cerita turun temurun pengurus masjid dan masyarakat Penyengat, masjid ini dibangun menggunakan campuran putih telur, kapur, pasir, dan tanah liat. Putih telur digunakan karena produksi telur pada masa itu sedang melimpah sehingga warga hanya mau makan kuning telurnya. Putih telur, seperti juga air tebu, diyakini bisa menetralisir garam yang mudah merusak dinding.

Secara fisik masjid ini cukup megah dengan panjang 20 meter dan lebar 18 meter. Pada setiap sudut bangunan terdapat empat menara tempat bilal mengumandangkan azan. Selain itu ada pula 13 buah kubah berbentuk seperti bawang sehingga jumlahnya mencapai 17 buah sebagai simbol rakaat sholat wajid lima waktu. Di masjid ini pula kita bisa menemukan Al Quran tulisan tangan yang dibuat sekitar abad ke-18 dan terpelihara dengan baik hingga kini.


Bangunan yang menjadi cagar budaya ini telah menjadi ikon Penyengat sekaligus magnet yang menarik minat wisawatan berdatangan. Tak hanya itu, masjid dengan dominasi warna kuning kehijauan ini masih makmur oleh jamaah. Kisah kedekatan anak-anak kampung dengan masjid di masa silam bisa kita temukan di pulau ini. Suasa syahdu makin terasa ketika saya bergabung dalam bersamaa jamaah untuk salat dzuhur. Karena cuaca begitu terik, bertahan di halaman masjid cukup membuat fisik istirahat sejenak.

Begitu matahari rebah di ufuk barat dan awan kemerahan terlihat jelas, saya kembali merasakan suasana yang sangat berbeda, terutama saat adzan berkumandang dari Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat ini. Tak butuh waktu lama menyaksikan anak-anak muda, laki-laki maupun perempuan, anak-anak datang satu per satu memasuki masjid untuk shalat maghrib. Bukan hanya ketenangan yang didapat jika sore datang. Ketenteraman dan kedamaian dan suasana yang benar-benar relejius seperti kisah masa lalu tentang kampung yang damai.

“Kami bersyukur karena hati warga Penyengat masih tertambat dengan masjid ini,” kata Haji Abdurrahman, salah seorang pengurus masjid. Jamaah makin meluber jika Jumat datang. Sejak pagi pulau ini telah didatangani jamaah dari Kota Tanjungpinang yang hanya berjarak 15-20 menit perjalanan laut. Sesekali kita akan menemukan jamaah dari negeri seberang seperti Johor, Pahang maupuan Singapura. “Biasanya mereka sekalian berziarah ke makam para raja Melayu di pulau ini,” katanya.

Suasana relejius semakin kental manakala Ramadhan datang. Sepanjang bulan puasa, masjid ini tidak hanya dikunjungi warga pulau, tapi juga dari Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Bahkan tidak jarang turis mancanegara seperti Amerika Serikat, Belanda, Timur Tengah berada di sini dalam hitungan bulan sembari menyatu dengan kehidupan masyarakat. “Tapi, warga di sini masih tetap bertahan dengan tradisi kami dan tidak terbawa arus budaya dari luar,” katanya.

Selain masjid yang dibangun dengan bahan campuran telur, warisan lain yang cukup menarik di pulau ini adalah bekas gedung mesiu, meriam belanda, komplek pemakaman raja dan bangsawan Kerajaan Riau-Lingga, termasuk makan Raja Ali Haji, penulis Gurindam Duabelas yang tersohor sebagai pencetus cikal-bakal bahasa Melayu modern menjadi bahasa Indonesia.

No comments:

Post a Comment