Tuesday 12 April 2016

Indahnya Tradisi Etnis Osing di Desa Kemiren

Hamparan sawah dan rimbun pepohonan serta gemericik air yang mengalir di sungai-sungai kecil membuat suasana pedesaan di Desa Kemiren semakin terasa meskipun jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat Kota Banyuwangi. Deretan rumah tradisional warganya membuat nuansa Osing semakin terasa di desa yang terletak 114 meter di atas permukaan laut ini. Apalagi kalau kita datang ketika salah satu acara budaya sedang dilaksanakan. Kita akan menemukan suasana yang benar-benar berbeda di Kemiren yang menjadi desa wisata adat sejak tahun 1995.

Sebagian besar penduduk Kemiren yang berjumlah 2.660-an jiwa adalah keturunan etnis Osing yang mempertahankan dan menjalankan tradisi lokal. Dalam setahun, paling tidak ada 32 acara budaya, 18 di antaranya berupa kesenian, yang diselenggarakan. Bahkan setiap pekan, Mocoan (membaca syair pujian untuk Nabi Yusuf) berlangsung secara bergantian di rumah penduduk. Selasa malam atau reboan untuk anak-anak muda dan Rabu malam atau kemisan bagi kelompok dewasa. Naskah Mocoan beraksara Arab tapi menggunakan bahasa Jawa kuno.

Selain Mocoan, masih ada Tumpeng Sewu yang diselenggarakan pada hari Senin atau Jumat di awal bulan haji (dzulhijjah) sebagai prosesi selamatan bersih desa. Tradisi lain yang berkaitan dengan hari besar keagamaan antara lain Ndog-ndogan untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Telur dihiasi bendera dilengkapai nasi dan sayur serta lauk yang disimpan di ancak lalu diarak beramai-ramai dibawa ke masjid tempat Maulid Nabi diselenggarakan. Selain itu, ada pula Penampan yang diadakan sehari sebelum puasa Ramadahan. Warga saling kunjung untuk mengadakan dzikiran atau yasinan yang diakhiri dengan makan bersama.


Tradisi lain yang cukup menarik adalah Barong Ider Bumi pada hari kedua hari raya Idul Fitri. Inti ritual ini adalah mengarak barong mengelilingi desa. Sebelum arak-arakan dimulai, biasanya diawali pertunjukan tari-tarian di halaman balai desa. Arak-arakan barong ini diiringi permainan angklung oleh para sesepuh desa mengitari kampung. Acara ini diakhiri dengan makan bersama dengan sajian khas pecel pithik dan sayuran dari hasil bumi Desa Kemiren. Makanan disajikan di sepanjang jalan desa untuk disantap bersama sebagai tanda syukur.

Hubungan sosial antarwarga memang terjalin sangat kuat dengan landasan adat dan tradisi yang masih kokoh. “Kami sudah terbiasa saling membantu kalau ada hajatan tetangga,” kata Anak Agung Tahrim, Kepala Desa Kemiren. Sikap ramah dan mudah menolong itu juga berlaku bagi siapa saja yang berkunjung, termasuk wisatawan yang ingin menginap di rumah warga. “Pintu rumah kami selalu terbuka lebar,” katanya. Keterbukaan ini dapat dilihat dari model rumah adat Osing yang berkonsep terbuka.

Rumah adat Osing memiliki nilai filosofis yang dipertahankan hingga sekarang. Rumah adat ini meliputi rumah tikel balung (beratap empat) sebagai lambing penghuninya sudah mantap. Adapun rumah crocogan (beratap dua) melambangkan penghuninya adalah keluarga yang baru membangun rumah tangga dan sedang membangun perekonomian keluarga. Sedangkan rumah baresan (beratap tiga) melambangkan pemiliknya sudah mapan, namun secara materi berada di bawah rumah bentuk tikel balung.

Desa Kemiren telah menjadi salah satu ikon budaya maupun pariwisata Banyuwangi. Desa ini sering menjadi tempat penelitian akademisi dari dalam dan luar negeri maupun mejadi tempat perjamuan acara-acara pariwisata di Banyuwangi.

Desa Kemiren terletak di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Jarak desa ini dengan pusat kota hanya sekitar 7 kilometer dan berada di ruas jalur yang sama menuju Perkebunan Kalibendo. Mengunjungi Desa Kemiren bisa dilakukan dengan kendaraan pribadi atau angkutan umum yang banyak tersedia di Kota Banyuwangi.

No comments:

Post a Comment