Monday, 2 May 2016

Mengenal Raja Ali Haji, Bapak Bahasa Melayu Indonesia


Pulau Penyengat dan Raja Ali Haji tak ubahnya salju dan dingin atau laut dan pantai yang tidak mungkin dipisahkan. Menyebut Pulau Penyengat, pastilah teringat nama Raja Ali Haji. Sosok ulama, pujangga, budayawan, penasehat kerajaan hingga pahlawan nasional di bidang bahasa ini melekat pada namanya. Ya, dialah Raja Ali Haji, ulama besar kelahiran Pulau Penyengat yang namanya harum tidak hanya di Indonesia, tapi melintasi batas hingga Singapura dan Malaysia. Raja Ali Haji ibarat perekat kemelayuan antara negeri serumpun seperti Indonesia, Malaysia dan bahkan Singapura.

Raja Ali Haji memang identik dengan Gurindam Dua Belas, karyanya yang paling masyhur dan paling dikenal masyarakat hingga sekarang. Gurindam yang terdiri dari 12 pasal ini menjelaskan tentang kewajiban para raja, sifat-sifat masyarakat, kewajiban orang tua kepada anak, kewajiban anak kepada orangtua, persahabatan, hingga sifat-sifat yang harus dimiliki para pemimpin atawa raja. “Karya Raja Ali Haji tidak lekang oleh zaman dan menjadi sumber inspirasi bagi generasi masa kini,” kata Hasan Junus, budayawan Riau yang menerbitkan ulang karya monumental itu dengan judul Raja Ali Haji Gurindam Dua Belas.

Meski menjadi salah satu figur sentral Melayu, Raja Ali Haji justru lahir dari keturunan Bugis dan Melayu. Lahir di Pulau Penyengat pada 1808, penulis sekitar 14 buku ini juga wafat di Pulau Penyengat pada 1873. Ia dikenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar  tatabahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa. Karya lain yang tidak kalah masyhur adalah Tuhfah an Nafis (Hadiah yang Berharga) yang diterbitkan tahun 1860 dan Silsilah Melayu dan Bugis (1859) yang berkisah pengalaman lima orang Bugis bersauadara yang merupakan nenek moyang Pangeran Penyengat. Dua karya ini rujukan untuk melacak sejarah Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.

Sebagai pujangga sekaligus penasehat kerajaan, Raja Ali Haji mencerna setiap kejadian yang ada di sekitarnya untuk dituangkan dalam tulisan. Di bidang sastra Melayu, Hikayat Abdul Muluk menjadi karya sastrawan pertama Riau yang diterbitkan pada tahun 1846. Adapun di bidang ketatanegaraan, Raja Ali Haji menulis Intidzam Wazaif al Malik (Peraturan Sistematis tentang Tugas-Tugas Raja) yang berisi nasihat bagi perilaku raja dan aturan pemerintahan secara Islam.


Karya penting lain di bidang yang sama adalah Tsamarat al-Muhimmah Difayah li al-Umara wa al-Kubara wa li ahl al-Mahkamah (Pahala dari Tugas-tugas Keagamaan bagi Para Pemimpin, Pembesar, dan para Hakim) yang dianggap sebagai puncak karyanya di bidang ketatanegaraan. Karya-karya Raja Ali Haji selalu dilandasi syariat Islam dan terlihat sekali dia sebagai pengagum Imam Ghazali, Taimiyah dan Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Habib al-Mawardi.

Karya lain yang tidak kalah menarik adalah Kitab Pengetahuan Bahasa dan Tata Bahasa Melayu yang ditulis tahun 1858 dan 1860. Penulisan buku ini dilator belakangi oleh sejarah perebutan kekuasaan di Selat Melaka antara Inggris dan Belanda yang berujung pada Perjanjian London (Treaty of London) pada 1824. Perjanjian ini memecah belah keutuhan Kerajaan Riau-Lingga, Johor, dan Pahang. Pada masa itu Johor dan Pahang, serta Singapura, berada dalam pengaruh kekuasaan Inggris. Sedangkan Riau-Lingga di bawah pengaruh kekuasaan Belanda.

Perjanjian London menjadi awal perpecahan wilayah dan kebudayaan Melayu, terutama bahasa. Bahasa Melayu di Semenanjung Malaya yang berada di bawah pengaruh Inggris berkembang menjadi bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia. Adapun Bahasa Melayu yang berkembang di Riau menjadi Bahasa Melayu Riau dan akhirnya berkembang menjadi Bahasa Indonesia. Di sinilah peran Raja Ali Haji dalam pengembangan bahasa Melayu.

Kemampuan Raja Ali Haji tidak lepas dari darah yang mengalir dalam tubuhnya dan lingkungan. Dia lahir dan tumbuh dalam keluarga terpandang yang mewarisi kebangsawanan Melayu dari kakeknya, Yang Dipertuan Muda IV Kesultanan Melayu Johor-Riau-Lingga-Pahang Raja Haji Asy-Syahid Fi Sabilillah. Yang Dipertuan Muda tidak lain jabatan semacam perdana menteri yang memiliki banyak peran dibandingkan Sultan Melayu. Sang kakek mendapat gelar Asy-Syahid Fi Sabilillah setelah gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada tahun 1784.

Meski memiliki darah panglima perang, toh darah ayahnya yakni Raja Ahmad bin Raja Haji Fi Sabilillah yang dikenal sebagai ilmuwan dan telah menulis empat judul buku, satu di antaranya dirampungkan oleh Raja Ali Haji. Raja Ahmad merupakan penasihat kerajaan, terutama pada masa pemerintahan kakak kandungnya, Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Ja’far bin Raja Haji Fi Sabilillah. Sedangkan ibu Raja Ali Haji, Hamidah binti Panglima Malik merupakan puteri dari Selangor.

Raja Ali Haji mengikuti rombongan Kesultanan Riau yang dipimpin ayahnya ke Batavia pada tahun 1822 sebagai utusan resmi Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Ja’far. Mereka diutus untuk menemui Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A. Baron van der Capellan di Batavia guna membahas dampak pergantian kepemimpinan Sultan Mahmud di Riau dan pengangkatan Sultan Husin di Singapura. Kesempatan pertama ke Pulau Jawa ini digunakan untuk bertemu dengan Christian van Anggelbeek, seorang penerjemah yang menguasai beberapa bahasa.

Pengalaman bertemu dengan banyak tokoh dan melintasi berbagai daerah, termasuk ketika ikut beribadah haji ke Mekah membuat kecakapannya meningkat pesat dalam usia muda. Dalam usia ang masih muda, ia dikenal sebagai ulama yang sering diminta fatwanya oleh pihak kerajaan. Di usia 20 tahun, dia diamanahi tugas kenegaraan yang penting dan saat usianya mencapai 32 tahun, bersama sepupunya Raja Ali bin Raja Ja’far, ia dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang masih terlalu muda.

Meski demikian, produktifitas Raja Ali Haji dalam menulis tidak surut. Menulis telah menjadi nafas hidupnya sehingga apapun jabatan di tangan tidak akan menyurutkan hasratnya untuk terus menulis. Apalagi jika ditilik dari pohon keluarganya yang memang penulis dan ilmuwan serta ditopang oleh lingkungan. Pohon keluarga Raja Ali Haji memang pohon keluarga pengarang atau sastrawan dan mereka hidup di lingkungan intelektual.

Raja Daud, saudara seayah Raja Ali Haji misalnya, menulis Syair Perang Banjarmasin. Adapun Raja Saleha, saudara kandungnya, diduga kuat telah ikut serta dalam menulis Syair Abdul Muluk bersama Raja Ali Haji. Saudara sepupunya, Yang Dipertuan Muda Riau VIII Raja Ali, ternyata juga seorang penulis. Cucu Yang Dipertuan Muda Riau VIII ini juga pengarang tersohor dengan nama Ali Kelana yang menulis empat judul buku. Saudara sepupunya yang lain, Yang Dipertuan Muda Riau IX Raja Haji Abdullah, juga menulis setidaknya 4 kitab syair.

Anak-anak Raja Ali Haji pun mewarisi darah menulis dari ayahnya. Raja Hasan menulis Syair Burung, Raja Safiah mengarang Syair Kumbang Mengindera, dan Raja Kalzum  menghasilkan Syair Saudagar Bodoh. Belakangan empat cucu Raja Ali Haji juga memiliki minat yang serupa. Mereka adalah Raja Khalid Hitam, Raja Aisyah Sulaiman, Raja Haji Muhammad Thahir, Raja Abdullah (Abu Muhammad Adnan), dan Raja Haji Ahmad.  Dua orang cicit Raja Ali Haji pun, ialah Raja Haji Muhammad Said dan Raja Jumaat, adalah juga pengarang beberapa judul buku.

Jika keturunan Raja Ali Haji ibarat pohon, maka batang, dahan, hingga ranting pohon ini telah membuahkan buah yang sama yakni karya tulis. Karya tulis ini merupakan warisan yang sangat berharga, terutama untuk menelusuri sejarah akar Melayu di negeri-negeri serumpun seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

No comments:

Post a Comment