Monday 16 May 2016

Bonyoh, Desa Kuno di Tengah Gemerlap Bali


Desa di perbukitan Kintamani, Bangli, Bali ini punya nama yang tidak biasa: Bonyoh. Beragam versi menawarkan sejarah dan asal-usul nama desa yang terdengar unik bagi warga sekitar dan orang yang baru mendengarnya. Sebagian masyarakat mempercayai satu versi meskipun tidak didukung temuan arkeologis atau prasasti. Tapi, sebagian yang lain malah yakin dengan versi sendiri. Tapi, mereka tetap bisa hidup rukun, tenteram, damai, dan memegang teguh adat yang sudah berlangsung secara turun temurun.

Desa seluas 434 hektar yang dihuni oleh 160 keluarga ini terdiri dari satu desa dinas, satu desa adat dan satu banjar. Keunikan desa ini bukan sekadar namanya yang tak biasa, tapi keteguhan warganya menentang praktek pologami dan dijadikan peraturan adat. Bonyoh tergolong salah satu dari beberapa desa kuno di Bali yang mempertahankan tradisi masa lalu mulai dari konsep pemukiman hingga urusan perkawinan. Pantangan memiliki isteri lebih dari satu bagi kaum laki ini terus dipertahankan hingga sekarang.

Seperti halnya di Desa Penglipuran, juga di Bangli, maupun di Desa Sasak Sade di Lombok Tengah, pelanggaran terhadap pantangan beristeri lebih dari satu bakal dijatuhi sanksi adat. Tapi, masing-masing desa adat ini memiliki bentuk sanksi berbeda. “Lelaki yang melanggar aturan ini akan diberhentikan sebagai krama adat,” kata Bendesa Adat Bonyoh, I Wayan Gandra. Karena status krama adat dicabut, dia tidak diperkenankan mendatangi pura-pura desa adat.

Menurut sesepuh Desa Bonyoh, I Wayan Kanta, sanksi adat bagi lelaki yang ngemaduang alias berpoligami saat ini tidak seberat masa lalu. “Kalau dulu dilarang masuk pekarangan desa,” kata Wayan Kanta. Lambat laun larangan ini diubah menjadi pencabutan status krama adat. Meskipun status krama adat dicabut, pelaku poligami di desa ini masih diberi hak atas tanah kuburan. Hal ini berbeda dengan desa-desa adat lain di Bali yang tidak memberikan hak atas tanah keburuan jika status krama adatnya sudah dicabut.

Pelanggar pantangan poligami di Bonyoh juga masih dibolehkan menghadiri kemarian warga. Tapi, rasa penerimaan masyarakat sudah berkurang karena kegiatan-kegiatan itu biasanya digelar di pura-pura desa adat. “Pada saat yang sama pelaku ngemaduang kan tidak boleh pura-pura desa adat,” katanya. Meski terkesan lebih ringan dibandingkan desa adat lain, sanksi ini sama dengan pengucilan. “Ya semacam pengucilan juga,” katanya.

Sanksi pencabutan krama adat bagi pelaku poligami ini tidak hanya berlaku di Bonyoh, tapi juga di Desa Umbalan. Dua desa ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dan memiliki hubungan yang sangat erat dalam pemberlakuan sanksi adat. Tradisi yang berdekatan, bahkan hampir sama ini diduga kuat karena adanya hubungan pasawitran di masa lalu. I Wayan Kanta mengatakan tidak mengetahui dengan pasti sejak kapan dan alasan utama pantangan berpoligami ini. “Karena ini sudah berjalan turun-temurun,” katanya.




Namun, dari paparan para sesepuh adat diyakini bahwa orang yang menjalankan ngamaduang tidak akan bahagia seperti yang didapatkan lelaki dengan satu isteri. Apalagi masyarakat yakin bahwa menambah isteri berarti menambah beban dan tanggung jawab. Potensi ancaman konflik yang tinggi antara wanita yang dimadu dan madunya juga menjadi salah satu alasan. Akibatnya energi habis untuk mengurus urusan internal rumah tangga kaena isteri lebih dari satu.

Namun, I Made Sujaya yang menulis buku Perkawinan Terlarang (2007) mengatakan bahwa bagi masyarakat Bali Kuno, poligami merupakan perbuatan tabu karena dapat merusak citra desa dan menyebabkan hubungan tidak harmonis antar sesama manusia. Karena itu, warga yang berani melakukan poligami, hak-haknya sebagai krama ngarep (warga utama) hilang. Sanksi berupa hukuman moral yang diberikan adalah penempatan di teben (hilir) desa yang disebut Karang Memadu seperti di Desa Penglipuran, Bangli.

Lelaki Bonyoh maupun Umbalan boleh menikah lagi dengan syarat sudah bercerai atau isterinya sudah meninggal dunia. Lelaki yang sudah bercerai tidak perlu menunggu mantan isterinya punya suami lagi untuk menikah kembali. Begitu juga dengan lelaki yang ditinggal mati isterinya dibolehkan menikah kembali tanpa khawatir dinilai melanggar adat.

Tentang nama Bonyoh yang tergolong unik, I Made Sujaya mengatakan ada beberapa versi yang selama ini dikenal masyarakat. Salah satunya Bonyoh berasal dari kata banyeh (air yang keluar dari tubuh orang meninggal dunia). Asal-usul ini berawal dari cerita Ida Batara, seorang warga desa yang sedang bepergian ke suatu tempat. Di tengah perjalanan, tunggangan Ida Batara tewas. Dari sini tercium banyeh (bau mayat) sehingga desa tersebut dijuluki dengan Baunyeh yang lama-kelamaan menjadi Bonyoh.

No comments:

Post a Comment