Monday, 2 May 2016

Penyengat, Pulau Kecil Taman Para Penulis Besar


Luas pulau ini tak seberapa, hanya 240 hektar. Lebarnya sekitar satu kilometer dengan panjang sekira dua kilometer. Penghuni pulai ini pun tidaklah banyak, 2.500 jiwa atau 450-an keluarga. Jangan pula bertanya hotel karena losmen pun tidak ada. Sarana transportasi teramat sederhana dan khas, bentor atawa becak yang disambung dengan motor. Tidak mengherankan jika suasana pulau ini begitu asri, damai, tenteram, nyaman dan penuh kesejukan. Yang ada di pulau ini tidak lain kesahajaan.

Tapi, di balik kesederhanaan itulah prestasi besar yang melintasi batas negara pernah terlahir dari pulau kecil ini. Di pulau mungil ini Gurindam Dua Belas lahir dari tangan Raja Ali Haji. Dari sini pula cikal bakal tata bahasa Melayu ditulis, bahasa Melayu Riau dimurnikan dan pada akhirnya menjadi cikal bakal bahasa Indonesia yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1908. Di pulau ini pula pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Lingga-Riau berdiri pada abad ke-18.

Pulau ini sejak awal dikenal sebagai mas kawin atau mahar Raja Riau-Lingga, Sultan Mahmud Syah kepada permaisurinya Engku Putri atau Raja Hamidah tahun 1801. Dalam perjalanannya, pulau ini dikenal sebagai taman para penulis atau pulau kaum cendekia. Aktivitas Kerajaan Riau-Lingga juga berlangsung di sini bersamaan dengan lahirnya penulis-penulis hebat di masa lalu. Kelahiran Bahasa Indonesia juga tidak bisa dilepas dari keberadaan pulau ini.

Jejak-jejak kebesaran Penyengat di bidang sastra dan bahasa itu masih bisa kita saksikan dan kita rasakan hingga hari ini. Inilah Pulau Penyengat. Tanpa pantai indah, tanpa bukit menawan, tapi mampu menarik wisatawan lokal maupun mancanegara, terutama dari negeri-negeri jiran seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Timur Tengah, Australia, Belanda dan Amerika. Inilah lokasi wisata reliji yang menawarkan keheningan dan kebesaran masa lalu tentang Melayu.


Nama Penyengat yan terkesan seram tentu memiliki asal muasal meskipun tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Dulu banyak pelaut yang datang ke sini ini untuk mengambil air minum. Saat itulah datang rombongan binatang semacam serangga yang memiliki sengat  lalu menyengat pelaut ini hingga bengkak-bengkak. Binatang ini disebut penyengat. “Binatang itu sebesar kepalan tangan dan sembunyi di dalam tanah,” kata Haji Abdurrahman, seorang tokoh Penyengat.

Pulau Penyengat terletak di bagian barat Pulau Bintan yang dipisahkan sebuah selat. Dari Batam, pulau ini berjarak sekitar 35 kilometer yang dapat ditempuh dengan perahu boat atau pompong selama kurang lebih 30 menit. Dari Pelabuhan Pinang Kota Tanjungpinang, pulau ini ditempuh dalam kurun 15 menit dengan ongkos Rp 5.000 sekali jalan. Dari Singapura, negeri ini tak begitu jauh karena hanya butuh maksimal dua jam perjalanan laut.

Begitu menapak tanah Pulau Penyengat, yang terasa adalah udara sejuk alami yang sejuk meski di siang hari. Semilir angina pantai membuat suasana makin tenteram. Apalagi ketika menatap Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat. Masjid yang dibangun pada tahun 1803 ini menjadi landmark dan simbol Pulau Penyengat. “Masjid ini banyak dikunjungi wisatawan Malaysia dan Singapura,” kata Abdul Jalil, seorang pengurus Masjid Raya Penyengat. Pada hari Jumat, jamaah masjid ini juga berasal dari Kota Tanjungpinang.

Daya tarik masjid ini bukan sekadar warna kuning kehijauan yang membetot mata. “Masjid ini menjadi simbol kebesaran Kerajaan Melayu di masa lalu yang berkuasa hingga Pahang, Johor, dan Singapura,” katanya. Masjid in dibangun oleh Sultan Mahmud tahun 1803 yang direnovasi pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdul Rahman tahun 1832.

Dari pelbagai literatur, masjid ini dibangun menggunakan campuran putih telur, kapur, pasir, dan tanah liat. Putih telur digunakan karena produksi telur sangat sedang melimpah dan warga hanya mau memakan kuning telurnya. Campuran putih telur sebenarnya juga ditemukan di bangunan kuno di tempat lain, terutama yang berada di dekat pantai. Putih telur, seperti juga perasan air tebu, diyakini menetralisir garam yang mudah merusak dinding.

Secara fisik masjid ini cukup megah dengan panjang 20 meter dan lebar 18 meter. Pada setiap sudut bangunan terdapat empat menara tempat bilal mengumandangkan azan. Selain itu ada pula 13 buah kubah berbentuk seperti bawang sehingga jumlahnya mencapai 17 buah sebagai simbol rakaat sholat wajid lima waktu. Di masjid ini pula kita bisa menemukan Al Quran tulisan tangan yang dibuat sekitar abad ke-18 dan terpelihara dengan baik hingga kini.

Bangunan yang menjadi cagar budaya ini telah menjadi ikon Penyengat sekaligus magnet yang menarik minat wisawatan berdatangan. Tak hanya itu, masjid dengan dominasi warna kuning kehijauan ini masih makmur oleh jamaah. Kisah kedekatan anak-anak kampung dengan masjid di masa silam bisa kita temukan di pulau ini. Bertahanlah di Penyengat hingga sore menjelang matahari terbenam.

Begitu matahari rebah di ufuk barat dan awan kemerahan terlihat jelas, tunggulah sejenak hingga adzan berkumandang dari Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat ini. Tak butuh waktu lama kita akan menyaksikan orang-orang tua muda, laki-laki maupun perempuan, anak-anak datang satu per satu memasuki masjid untuk shalat maghrib. Bukan hanya ketenangan yang didapat jika sore datang. Ketenteraman dan kedamaian dan suasana yang benar-benar relejius seperti kisah masa lalu tentang kampung yang damai.

“Kami bersyukur karena hati warga Penyengat masih tertambat dengan masjid ini,” kata Haji Abdurrahman, salah seorang pengurus masjid. Jamaah makin meluber jika Jumat datang. Sejak pagi pulau ini telah didatangani jamaah dari Kota Tanjungpinang yang hanya berjarak 15-20 menit perjalanan laut. Sesekali kita akan menemukan jamaah dari negeri seberang seperti Johor, Pahang maupuan Singapura. “Biasanya mereka sekalian berziarah ke makam para raja Melayu di pulau ini,” katanya.

Suasana relejius semakin kental manakala Ramadhan datang. Sepanjang bulan puasa, masjid ini tidak hanya dikunjungi warga pulau, tapi juga dari Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Bahkan tidak jarang turis mancanegara seperti Amerika Serikat, Belanda, Timur Tengah berada di sini dalam hitungan bulan sembari menyatu dengan kehidupan masyarakat. “Tapi, warga di sini masih tetap bertahan dengan tradisi kami dan tidak terbawa arus budaya dari luar,” katanya.

No comments:

Post a Comment