[Featured][carousel][6]

Monday, 8 August 2016

Bukit Malimbu, Tempat Terbaik Menikmati Keindahan Pulau Lombok

07:57:00
Nusa Tenggara Barat memang tak pernah bosan untuk ditelusuri. Jumlah pengunjung yang terus bertambah baik dari dalam maupun luar negeri seolah menjadi bukti bahwa Pulau Lombok layak dikagumi. Setelah puas menyusuri seluruh tempat wisata, coba lanjutkan perjalanan menuju Bukit Malimbu. Sebuah bukit yang letaknya tak jauh dari Pantai Senggigi.

Bukit Malimbu menjadi tempat yang menarik untuk menikmati pemandangan indah berupa pantai, pegunungan serta alam sekitar dari ketinggian. Malimbu memang identik dengan pantai dan bukit. Pantainya saja merupakan terusan dari Pantai Senggigi, sedangkan bukit yang menjulang di sisi pantai adalah Bukit Malimbu. Inilah tempat indah untuk menyesap ketenangan dibalik nuansa keindahan alam.

Selama perjalanan menuju Malimbu kita akan disuguhkan dengan pemandangan hijau di kanan kiri jalan yang cukup memanjakan mata. Dari pusat Kota Mataram Bukit Malimbu berjarak 24 kilometer, sekitar satu jam perjalanan menggunakan kendaraan pribadi. Sedangkan dari utara Pantai Senggigi jaraknya hanya sekitar 10 kilometer.

Bila berangkat dari Pelabuhan Lembar Lombok, Malimbu dapat ditempuh sekitar dua jam dengan perjalanan darat. Lebih tepatnya kawasan ini selalu dilewati wisatawan jika melakukan perjalanan darat menuju Pelabuhan Bangsal untuk menyeberang ke Gili Trawangan.

Tiba di bukit Malimbu, pemandangan indah nan menakjubkan akan tersaji di depan mata. Laut biru membentang luas dengan hempasan ombak kecil berpadu dengan langit biru cerah. Garis pantainya akan terlihat jelas dengan mata telanjang. Tak hanya itu, hutan hijau yang membentang sepanjang pasir putih tampak indah serta membawa kesejukan tersendiri. Bukit Malimbu memang indah.


Sejauh mata memandang terlihat Gunung Agung di Bali dengan deretan tiga gili akan semakin menyempurnakan keindahan Bukit Malimbu. Inilah tempat terbaik untuk menikmati keindahan Lombok.

Tak heran saat menjelang sore Bukit Malimbu ramai tak hanya oleh wisatawan tapi juga warga sekitar untuk menyaksikan sunset. Ya, bukit ini juga menjadi tempat favorit untuk menikmati sunset dari ketinggian. Posisinya yang berada di sebelah barat menjadi tempat yang pas untuk menyaksikan sunset.

Pilih saja lokasi terbaik untuk menanti keindahan sang mentari tenggelam. Sayang rasanya bila ke Lombok tak menyempatkan waktu untuk berkunjung kesini. Bukit Malimbu bisa menjadi penutup perjalanan yang sempurna setelah menyusuri Pulau Lombok.

Tuesday, 2 August 2016

Nikmatnya Sate Lalat Khas Pamekasan, Madura

12:04:00
Tak susah memang menemukan kuliner sejenis sate Madura di berbagai daerah. Pasalnya setiap daerah ada saja orang yang menjual makanan khas pulau garam ini. Ya, orang Madura memang dikenal sebagai perantau ulung. Tak heran bila mereka datang ke daerah rantauan seringkali membawa serta makanan khas Madura.
Namun, cita rasanya seringkali sedikit berubah karena lebih menyesuaikan dengan budaya kuliner di daerah rantauan. Menikmati kuliner sate Madura yang paling pas ya di Madura, tepatnya di Pamekasan dengan kulinernya yaitu sate lalat.

Rasanya belum afdol datang ke Madura tanpa mencicipi sate lalat. Namanya memang sedikit ekstrim tapi itulah yang menjadi daya tarik para penikmat kuliner. Sate lalat atau biasa disebut sate laler masih menggunakan daging ayam atau kambing. Hanya saja bentuknya dipotong lebih kecil dari sate biasa atau seperti lalat sehingga orang Madura menyebutnya sate lalat.


Dalam satu tusuk sate biasanya berisi 3 sampai 5 potong daging. Karena potongannya lebih kecil sate lalat menggunakan lidi bukan bambu agar potongan daging tidak mudah rusak saat ditusuk.

Ciri khas sate lalat terletak pada bumbu kacangnya yang berbeda dengan bumbu sate lainnya. Sate lalat tidak menggunakan kacang goreng tapi menggunakan kacang yang sebelumnya telah disangar atau disangrai. Kemudian dimasak dengan air setelah itu baru dihaluskan. Irisan daging kecil-kecil membuat bumbu lebih meresap sehingga rasanya gurih dan nikmat.

Bila sepuluh tusuk sate biasa sudah cukup, porsi sate lalat bisa sampai 20 hingga 30 tusuk dengan pendamping lontong atau nasi. Agar tidak mudah gosong, sate yang telah ditusuk sebelumnya dicelupkan ke dalam minyak goreng. Proses pemanggangan juga tidak bisa dilakukan terlalu lama. Bahkan terkadang untuk menciptakan aroma yang khas dan nikmat penjual sate lalat seringkali membuat kecapnya sendiri.

Sate lalat mulai popluer sejak 25 tahun lalu di Pamekasan. Cara menjualnya juga identik dengan alat tradisional yang terbuat dari anyaman bambu lalu dipikul keliling kampung saat berjualan. Sate lalat bisa dinikmati di kota Pamekasan tepatnya di kawasan kuliner Saesalera Jalan Niaga dan Jalan Purba.

Berderet penjual sate lalat dapat ditemui di sini termasuk warung Pak Ento yang memang sudah lama menjual sate lalat. Biasanya warung sate dikawasan tersebut buka mulai sore hingga malam hari. Harga seporsi sate lalat dibandrol sekitar Rp 9.000 dan Rp 11.000 bila menggunakan lontong.

Friday, 22 July 2016

Vihara Avalokitesvara, Simbol Kerukunan Beragama di Pulau Madura

11:29:00
Dari depan rasanya tak ada yang istimewa dari Vihara Avalokitesvara yang terletak di Desa Polagan, Kabupaten Pamekasan, Madura. Namun vihara ini memiliki kisah sejarah panjang yang berkaitan dengan era Kerajaan Majapahit. Tak hanya menjadi vihara terbesar di Madura, Vihara Avalokitesvara juga menjadi simbol kerukunan antar umat beragama. Apalagi keberadaan musallaa sebagai tempat peribadatan umat muslim dan Pura untuk umat Hindu yang juga berada dalam satu wilayah dengan vihara.

Vihara atau Kelenteng Kwan Im Kiong termasuk salah satu kelenteng yang sangat dikenal umat Tridharma Indonesia. Lokasi Pura sendiri berada paling dekat dengan vihara. Pura berukuran sekitar 3x3 meter lebih kecil dari musallah. Pembangunan Pura diprakarsai oleh Kapolwil Madura pada saat itu yang berasal dari Bali dan menganut agama Hindu. Hingga saat ini hanya ada satu tempat ibadah untuk umat Hindu di Madura.

Sedangkan musallah berjarak sekitar 10 meter dengan vihara yang dibatasi dengan sebuah dinding. Dibanding vihara sendiri, Musholla memang tidak terlalu besar dengan ukuran 4x4 meter. Pihak vihara juga menyediakan tempat berwudhu, sajadah, mukena dan juga tasbih.


Vihara ini juga menjadi saksi sejarah agama Budha di Madura. Sebelum Islam masuk, masyarakat Madura telah lebih dahulu memeluk agama Budha. Tahun 1800 seorang petani bernama Pak Burung menemukan sebuah patung peninggalan Majapahit di ladangnya. Kabar ini ternyata sampai di telinga Pemerintah Hindia Belanda dan memerintahkan Bupati Pamekasan Raden Abdul Latif untuk memindahkan patung tersebut di Kadipati Pamekasan.

Namun keterbatasan peralatan menyebabkan pemindahan tersebut gagal dilakukan. Kurang lebih seratus tahun kemudian, keluarga Tionghoa membeli sebuah ladang tempat penemuan patung-patung itu. Salah satu patung tersebut ternyata adalah Kwan Im Po Sat atau Avalokitesvara. Kabar ini tersebar luas di kalangan masyarakat Tionghoa di Pamekasan dan Madura pada umumnya.

Sejak saat itulah kemudian dibangun sebuah kelenteng untuk menampung patung Kwan Im Po Sat. Selain sebagai tempat ibadah, keberadaan vihara ini juga pernah dijadikan tempat untuk acara berskala nasional dan internasional. Seperti pagelaran wayang internasional yang melibatkan kurang lebih 10 negara.

Tapi, ada juga cerita lain yang mengisahkan hadirnya vihara ini di Madura, terutama bagi warga Tionghoa. Apalagi ada cerita turun-temurun yang selalu dikisahkan. Vihara ini tidak lepas dari sisa-sisa peninggalan budaya zaman Majapahit yakni pada abad ke-16 di mana ada kerajaan bernama Kerajaan Jamburingin di daerah Proppo di barat Pamekasan yang menjadi bagian Kerajaan Majapahit.

Raja-raja Jamburingin yang masih keturunan Majapahit itu punya rencana membangun candi untuk tempat ibadah, tepatnya di kampung Gayam, di sisi timur Kraton Jamburingin. Mereka mendatangkan perlengkapan lewat Pantai Talang Siring dari Kerajaan Majapahit. Pantai ini memang landai dan jadi tempat berlabuh perahu-perahu dari seluruh penjuru Nusantara.

Namun, setelah tiba di pelabuhan Talang, kiriman patung-patung dari Majapahit ke Kraton Jamburingin sama sekali tidak terangkat setelah tiba di Pelabuhan Talang. Warga sekitar hanya mampu mengangkat beberapa ratus meter dari pantai. Penguasa Kraton Jamburingin memutuskan untuk membangun candi di sekitar Pantai Talang.

Rencana pembangunan candi di Pantai Talang pun tidak terlaksana seiring perkembangan kejayaan Kerajaan Majapahit yang mulai memudar serta penyebaran agama Islam mulai masuk dan mendapat sambutan sangat baik di Pulau Madura. Termasuk daerah Pamekasan. Akhirnya, patung-patung kiriman dari Majapahit pun dilupakan orang serta lenyap terbenam dalam tanah.

Pada awal 1800-an patung-patung itu tidak sengaja ditemukan kembali oleh seorang petani saat menggarap ladangnya. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda menugaskan Bupati Pamekasan saat itu yaitu Raden Adullatif Palgunadi yang bergelar Panembahan Mangkuadiningrat I (tahun 1804-1842) mengangkat dan memindahkan patung-patung itu ke Kadipaten Pamekasan. Tapi, sekali lagi patung itu gagal diangkut. Akhirnya patung-patung tersebut tetap berada di tempat semula ketika saat ditemukan.

Sekitar 100 tahun kemudian atau tahun 1900 sebuah keluarga keturunan Tionghoa membeli tanah (ladang) di mana patung-patung tersebut berada. Setelah dibersihkan diketahui bahwa patung -patung itu adalah patung-patung budha versi Majapahit dalam aliran Mahayana yang banyak penganutnya di daratan Cina.

Patung-patung itu dikumpulkan dalam bangunan bercungkup dengan atap daun kelapa. Seiring waktu mulai dibenahi dan jadilah Vihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong) Kelenteng Pamekasan sampai saat sekarang.

Monday, 18 July 2016

Legenda Pohon Cemara Udang di Pantai Lombang

14:06:00

Hembusan semilir angin laut terasa sejuk meski panas matahari kian menyengat. Hamparan pasir putih dengan deburan ombak membawa ketenangan bagi setiap pengunjung. Rimbunan pohon cemara udang berjajar mengikuti garis pantai, melambai kian menarik perhatian. Maklum saja pohon cemara udang memang tak banyak ditemukan selain di Madura. Ya, inilah salah satu daya tarik dari Pantai Lombang yang terkenal dengan pohon cemara udangnya.

Hamparan pasir putih Pantai Lombang terbentang sepanjang 12 kilometer. Cemara udang menjadi endemi tumbuhan khas di pantai ini. Bahkan menurut sebagian besar masyarakat setempat pohon cemara udang hanya tumbuh di Pantai Lombang dan beberapa pantai di perairan Tiongkok atau China. Tinggi pohon cemara udang sekitar 4 meter di atas tanah. Berbeda dengan cemara lainnya yang berdiri tegak, pohon cemara udang lebih membungkuk sehingga bentuknya menyerupai udang.

Secara administratif, Pantai Lombang terletak di Desa Lombang, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura. Sekitar 30 kilometer bila ditempuh dari pusat kota Sumenep. Berangkat dari Surabaya bisa melalui Jembatan Suramadu menuju Kabupaten Bangkalan. Dari Bangkalan kemudian menuju arah Sumenep sekitar satu jam perjalanan baik dengan kendaraan umum atau pribadi.



Pohon cemara udang memang menjadi magnet bagi wisatawan yang berkunjung ke Pantai Lombang. Apalagi penyebaran cemara udang memiliki cerita menarik yang berkembang di tengah masyarakat.
Penyebaran pohon yang menarik buat bonsai ini berkaitan dengan ekspedisi besar kekaisaran Tiongkok dalam mengarungi perairan Nusantara pada abad 15. Pada saat itu pelayaran dipimpin oleh Jenderal The Ho (Sampo Thai Kam), Jenderal Ma’huan dan Jenderal Ong Keng Hong yang dikenal dengan sebutan Sam Po Toa Lang yang berarti Tiga Pendekar Besar.

Misi tersebut membawa 62 armada dengan pasukan perang sebanyak 27.800 orang dan menjadi pelayaran terbesar pada saat itu. Hingga menutup keluasan lautan yang dilewatinya seolah menunjukkan kekuatan besar kepada negeri-negeri tetangga. Namun saat tiba di lautan Jawa, salah satu kapal induk membentur batu karang hingga hancur dan menyebabkan Jenderal Ong Keng Hong selaku jurumudi meninggal.

Pelayaran itu kemudian berlanjut menuju pusat Kerajaan Majapahit. Namun, kapal-kapal itu terbawa arus ke arah timur dan dilanda angin topan hingga tenggelam di perairan Masalembu. Segala perlengkapan terdampar disekitar Pulau Jawa dan Madura. Masyarakat percaya bahwa tumbuhan cemara udang di perairan utara Sumenep merupakan sisa-sisa bawaan prajurit yang terdampar di Sumenep dalam perjalanan tersebut.

Thursday, 14 July 2016

Botok Tawon, Sensasi Botok dari Lebah Menyengat

16:39:00


Tak banyak memang yang mengenal botok tawon. Sajian kuliner yang satu ini memang berbeda dari biasanya. Banyuwangi memang identik dengan kuliner unik yang menggabungkan dua jenis makanan. Namun kali ini Anda bisa menemukan menu botok tawon di Banyuwangi. Tepatnya di warung sederhana milik Bu Misnah, di Desa Lemahbang Kulon, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur.

Bagi yang tidak biasa botok tawon memang sedikit aneh. Tapi jangan salah botok tawon cukup nikmat disajikan bersama dengan nasi panas. Racikan bumbu yang pas mampu menggugah selera bagi para pecinta kuliner. Saat pincukan daun pisang dibuka aroma segar dan sedap langsung terasa. Cita rasanya juga beragam asam, manis, asin, pedas dan gurih.

Biasanya botok terbuat dari ampas bungkil kelapa yang telah dibumbui dengan bahan utama berupa tempe, tahu, teri atau udang. Sedangkan botok tawon di dalamnya berisi sarang beserta anakan tawon yang masih menempel pada sarang dan siap disantap. Botok tawon memang menyajikan kuliner yang berbeda. Tawon yang dipilih adalah tawon usia muda. Saat dikunyah sarang tawonnya terasa empuk dan kenyal.


Botok tawon memang paling pas disajikan selagi hangat. Cara pengolahannya juga tidak tergolong susah. Irisan sarang dan anak lebah dimasukkan pada pincukan daun pisang. Kemudian disiram dengan kuah yang telah dibumbui dengan gula merah, lombok, asem, tomat serta bawang merah. Barulah kemudian direbus hingga daun pisang berwarna kecokelatan.

Penikmat botok tawon memang cukup banyak bahkan dari luar kota. Dalam sehari warung Bu Misnah menghabiskan sekitar 10 kilogram sarang dan anakan lebah sebagai bahan utama membuat botok tawon. Tapi juga tergantung ketersediaan bahan yang dicari karena tawon muda juga terbilang sulit. Tak heran terkadang botok tawon hanya tersedia pada waktu-waktu tertentu. Harga satu bungkus botok tawon sekitar Rp 6.000 sampai Rp 7.000 saja.

Tak hanya sebagai makanan biasa, botok tawon disinyalir memiliki beberapa manfaat. Botok tawon dapat mengurangi rasa pegal-pegal dan menguatkan stamina tubuh. Tak hanya itu botok tawon juga berkhasiat menyembuhkan penyempitan sel tubuh dan memperbaiki penyumbatan pada sendi.