Showing posts with label Wisata. Show all posts
Showing posts with label Wisata. Show all posts

Monday, 8 August 2016

Bukit Malimbu, Tempat Terbaik Menikmati Keindahan Pulau Lombok

07:57:00
Nusa Tenggara Barat memang tak pernah bosan untuk ditelusuri. Jumlah pengunjung yang terus bertambah baik dari dalam maupun luar negeri seolah menjadi bukti bahwa Pulau Lombok layak dikagumi. Setelah puas menyusuri seluruh tempat wisata, coba lanjutkan perjalanan menuju Bukit Malimbu. Sebuah bukit yang letaknya tak jauh dari Pantai Senggigi.

Bukit Malimbu menjadi tempat yang menarik untuk menikmati pemandangan indah berupa pantai, pegunungan serta alam sekitar dari ketinggian. Malimbu memang identik dengan pantai dan bukit. Pantainya saja merupakan terusan dari Pantai Senggigi, sedangkan bukit yang menjulang di sisi pantai adalah Bukit Malimbu. Inilah tempat indah untuk menyesap ketenangan dibalik nuansa keindahan alam.

Selama perjalanan menuju Malimbu kita akan disuguhkan dengan pemandangan hijau di kanan kiri jalan yang cukup memanjakan mata. Dari pusat Kota Mataram Bukit Malimbu berjarak 24 kilometer, sekitar satu jam perjalanan menggunakan kendaraan pribadi. Sedangkan dari utara Pantai Senggigi jaraknya hanya sekitar 10 kilometer.

Bila berangkat dari Pelabuhan Lembar Lombok, Malimbu dapat ditempuh sekitar dua jam dengan perjalanan darat. Lebih tepatnya kawasan ini selalu dilewati wisatawan jika melakukan perjalanan darat menuju Pelabuhan Bangsal untuk menyeberang ke Gili Trawangan.

Tiba di bukit Malimbu, pemandangan indah nan menakjubkan akan tersaji di depan mata. Laut biru membentang luas dengan hempasan ombak kecil berpadu dengan langit biru cerah. Garis pantainya akan terlihat jelas dengan mata telanjang. Tak hanya itu, hutan hijau yang membentang sepanjang pasir putih tampak indah serta membawa kesejukan tersendiri. Bukit Malimbu memang indah.


Sejauh mata memandang terlihat Gunung Agung di Bali dengan deretan tiga gili akan semakin menyempurnakan keindahan Bukit Malimbu. Inilah tempat terbaik untuk menikmati keindahan Lombok.

Tak heran saat menjelang sore Bukit Malimbu ramai tak hanya oleh wisatawan tapi juga warga sekitar untuk menyaksikan sunset. Ya, bukit ini juga menjadi tempat favorit untuk menikmati sunset dari ketinggian. Posisinya yang berada di sebelah barat menjadi tempat yang pas untuk menyaksikan sunset.

Pilih saja lokasi terbaik untuk menanti keindahan sang mentari tenggelam. Sayang rasanya bila ke Lombok tak menyempatkan waktu untuk berkunjung kesini. Bukit Malimbu bisa menjadi penutup perjalanan yang sempurna setelah menyusuri Pulau Lombok.

Thursday, 14 July 2016

Satu Komplek, Lima Rumah Ibadah

14:24:00

Setelah meresapi perjuangan para penyebar Islam di Pulau Bali dengan mengunjungi makam mereka, kami melanjutkan perjalanan ke destinasi lain untuk menambah pengetahuan. Meski perjalanan kali ini bernuansa wisata ziarah ke makam para wali, kami juga niatkan mengunjungi tempat lain yang tidak kalah menarik. Salah satunya adalah pusat peribadatan Puja Mandala sambil melewati jalan tol di atas laut yang membentang dari daerah Kuta di selatan hingga ke Tanjung Benoa di bagian utara Kota Denpasar. “Jangan mati sebelum menginjakkan kaki di Tanjung Benoa,” kata Ahmad Dasuki berseloroh sambil mengulum senyum.

Dalam perjalanan ini, Tanjung Benoa hanyalah bonus karena traveling ini lebih bernuansa wisata ziarah dan sejarah. Termasuk juga mengunjungi Pulau Penyu dan bermain banana boat sekadar untuk relaksasi, bukan tujuan utama kami. Tapi, bagi wisatawan yang ingin mencari pengalaman olahraga air sambil bersenang-senang, Pantai Benoa tidak boleh ditinggalkan. Jadi, penggemar olahraga air sebaiknya jangan mati sebelum merasakan sensasi Tanjung Benoa. Karena sudah berada di Benoa, kami pun menyempatkan diri mengunjungi Puja Mandala, pusat peribadatan yang menampung lima rumah ibadah. Semula saya agak bingung dan kaget bagaimana mungkin satu tempat dijadikan sarana ibadah lima agama berbeda.


Oh, ternyata saya salah mengira. Puja Mandala rupanya sebuah komplek tempat berdirinya lima rumah ibadah yang berdiri berdampingan dan berdekatan. Dinding marmer penanda kawasan ini berdiri tegak di bagian paling ujung. Ya, di sinilah Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa, dan Gereja Protestan GKPB Jemaat Bukit Doa berdiri. Bangunan ini bukan sekadar bangunan, tapi rumah ibadah yang ramai dikunjungi pemeluk masaing-masing agama. Di sinilah kita bisa menemukan dentang lonceng gereja berlanjut dengan panggilan azan dari masjid. Semua berlangsung damai. Umat masing-masing agama dengan khusyu beribadah di rumah ibadahnya tanpa merasa terganggu dengan kegiatan di rumah ibadah yang lain.

Pusat peribadatan lima agama ini terletak di Jalan Kurusetra, Desa Kampial, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Luas lahan pusat peribadatan ini mencapai 2,5 hektar yang mulai dibangun tahun 1994. Yang menarik, setiap rumah ibadah menempati lahan kavling dengan luas yang sama yakni 0,5 hektar. Selain pusat peribadatan, Puja Mandala berkembang menjadi tujuan wisata reliji favorit di Nusa Dua, Bali. Seperti halnya makam para wali yang sudah kami kunjungi, sudah pasti pusat peribadatan ini menyimpan cerita tentang latar belakang dan proses pembangunannya.

Pendirian komplek peribadatan ini bermula dari gagasan Sultan Hasanal Bolkiah yang berencana mendirikan masjid berukuran kecil di Nusa Dua Beach Hotel setelah membeli hotel itu. Berawal dari keinginan itu, Menteri Pariwisata Joop Ave mengusulkan berdirinya rumah-rumah ibadah bagi pemeluk Islam, Kristen, Protestan, Hindu, dan Budha. Gayung pun bersambut dan pihak BTDC mengusulkan lokasi miliknya di bagian selatan yang menghadap lagoon sebagai lokasi pembangunan rumah-rumah ibadah. Secara berurutan, rumah-rumah ibadah di sini diresmikan sejak tahun 1997 sampai tahun 2000.

Pengurus rumah ibadah ini mengadakan pertemuan setiap bulan untuk membahas berbagai hal, termasuk agenda kegiatan masing-masing rumah ibadah. “Tempat pertemuan bergilir di masing-masing rumah ibadah,” kata Ismet Noor, pengurus Masjid Ibnu Batutah. Pengurus lima rumah ibadah ini bernaung di bawah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Bali. Inilah salah satu model kerukunan kehidupan umat beragama yang menarik untuk dicontoh.


Monday, 13 June 2016

Ziarah Wali di Pulau Bali

12:56:00

Hari masih siang matahari masih bersinar, cukup  ketika bus yang membawa kami memasuki Kampung Loloan Barat di Kabupaten Jembrana, Bali. Perjalanan selama kurang lebih empat jam dari Glenmore, Banyuwangi pada pertengahan Mei lalu itu mengantarkan kami pada suasana yang tidak pernah kami bayangkan. Tidak ada penjor, janur kuning yang menjadi salah satu ciri khas pemukiman warga Bali. Tidak ada pula sesajen seperti yang biasa kami temukan. Senja itu kami disuguhi pemandangan Bali yang lain dari biasanya: suasana yang akrab dengan keseharian kami di kampung halaman. Padahal, Loloan Barat berada di Bali, pulau para Dewa.

Rumah panggung khas Melayu-Bugis berdiri di beberapa sudut kampung. Penjual sate Madura tengah asyik melayani pembeli di gerobaknya. Beberapa lelaki berkopiah dan bersarung keluar masuk toko berpapan nama aksara Arab. Saya pribadi merasa seperti berada di Kampung Ampel, Surabaya. Aroma minyak wangi yang meruap menambah kuat kesan Kampung Ampel di Loloan Barat ini. Apalagi setelah kami mendekati komplek makam Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih, salah satu ulama yang berjasa dalam penyebaran Islam di Bali. “Loloan memiliki peran penting masuknya Islam di Bali,” kata Ahmad Dasuki yang memandu kami.


Lokasi makam yang tidak persis di pinggir jalan membuat kami harus menyusuri perkampungan ini. Tapi, kami bersyukur karena dapat berinteraksi dengan penduduk kampung yang membuat saya penasaran sedari tadi. Terlebih, logat bicara mereka mengingatkan saya pada dialog kartun negeri tetangga: Upin dan Ipin. “Bahasa Melayu sudah digunakan di sini sejak dua abad silam,” katanya. Penutur awal bahasa Melayu datang dari Trengganu yang mengikuti migrasi penduduk Pontianak dan Bugis setelah Makassar jatuh ke tangan Belanda pada 1667. “Warga Bugis di sini masih keturunan Sultan Wajo,” kata Dasuki. Bahasa Melayu itu masih digunakan oleh komunitas muslim hingga sekarang. Warga Jembrana menyebutnya bahasa Melayu Bali.

Meski mayoritas penduduk Bali beragama Hindu, pemeluk Islam di Loloan tetap hidup tenang dan damai berdampingan dengan umat lain di dalam maupun di luar kampung. Jejak penyebaran Islam seperti makam Habib Ali turut dilestarikan. Selain mewariskan pesantren yang masih aktif hingga sekarang dan sejumlah kitab, Habib Ali adalah santri terakhir Kyai Kholil Bangkalan, ulama kharismatik dari Madura di masa perang kemerdekaan. Tidak mengherankan jika makam Habib Ali menjadi tujuan pertama wisata ziarah di Bali. Apalagi lokasinya paling dekat dengan Banyuwangi di ujung timur pulau Jawa. Di makam inilah kami berdoa semoga jariyah Habib Ali menebar ajaran Islam yang damai menjadi tabungan di akhirat.

Wisata ziarah ke Loloan tidak hanya mengunjungi makam Habib Ali. Di kampung ini kita dapat menemukan jejak lain yakni Pondok Pesantren Mambaul Ulum di Loloan Timur. Pesantren yang didirikan KH Ahmad Dahlan dari Semarang tahun 1935 ini masih bertahan hingga sekarang dan menjadi salah satu jejak kehadiran Islam masa lalu. Yang tidak kalah menarik tentu saja prasasti dari ukiran kayu dan Al Quran tulisan tangan yang disimpan di Masjid Baitul Qadim. Ukiran dan Al Quran ini diperkirakan berusia 200 tahun lebih. Di salah satu ukiran kayu itu tertulis aksara tahun 1268 hijriyah. Benda-benda bernilai sejarah ini membutuhkan perhatian lebih agar tidak rusak karena pelapukan akibat faktor usia.


Bagi kami, Kampung Loloan ibarat oase. Kampung ini terbagi menjadi tiga wilayah yakni Loloan Selatan, Loloan Barat dan Loloan Timur. Loloan Selatan biasa disebut dengan Markesari di mana mayoritas penduduknya memeluk Hindu. Sedangkan Loloan Barat dihuni masyarakat muslim dengan komposisi mencapai separuhnya. Adapun penduduk Loloan Timur mayoritas memeluk Islam. Bagi saya pribadi, bukan persoalan komposisi pemeluk masing-masing agama yang menarik, tapi kerukunan hidup dapat diciptakan dalam perbedaan. Apalagi warisan sejarah Islam di kampung ini sama-sama dijaga oleh semua penduduknya. Warisan nilai-nilai itu yang membuat saya jadi paham kenapa Habib Ali dianggap sebagai wali.

Dalam tradisi wisata ziarah di Bali, makam Habib Ali bukan satu-satunya lokasi yang menjadi tujuan wisatawan. “Ada tujuh wali dan kita biasa menyebutnya wali pitu,” kata Ahmad Dasuki. Lokasi makam mereka berbeda dari ujung barat hingga ujung timur. Jika makam Habib Ali di Jembrana, makam Pangeran Mas Sepuh berlokasi di Badung. Adapun makam Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al Khamid di Klungkung, Chabib Ali bin Zainul Abidin Al Idrus di Karangasem, Syeh Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi di Karangasem, Chabib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi di Bedugul-Tabanan, dan The Kwan Lie atau Syekh Abdul Qodir Muhammad di Buleleng.

Wisata ziarah di Bali tidak lepas dari nama Habib Toyyib Zaen Arifin Assegaf dari Sidoarjo, Jawa Timur. Pengalaman spiritual dan sufistik mengantarnya mencari jejak penyebar Islam di tanah para dewata pada tahun 1992. Bukti sahih peran mereka dalam penyebaran Islam dapat ditelusuri dan didukung beberapa bukti lain. Sebagian lagi dirujuk berdasarkan garis keturunan hingga ditemukan makamnya. Syeikh Chamdun  Choirusholeh atau Pangeran Mas Sepuh misalnya diyakini sebagai putra Raja Mengwi VII (Cokorda I) dari ibu yang berasal dari Kerajaan Blambangan (Banyuwangi). Makamnya berada di Pantai Seseh di Kabupaten Badung dan dikenal sebagai Keramat Pantai Seseh.

Ziarah ke makam para wali di Bali bukan sekadar menambah wawasan saya tentang kekayaan Bali sebagai destinasi wisata utama, tapi juga memberikan pelajaran tentang kerukukan hidup sesama manusia dalam keyakinan yang berbeda. Saling menghormati adalah menjadi kunci penting merawat dan melestarikan warisan masa lalu sebagai kekayaan khazanah pariwisata Indonesia. (iqbal fardian)


Thursday, 9 June 2016

Menonton Awan Kinton dari Puncak Cikuray

13:02:00

Sebenarnya Garut memiliki potensi alam yang sangat luar biasa. Hanya saja sedikit sekali yang mengenal pantai Pamengpeuk, Santolo, Ranca Buaya, Sayang Heulang, Karang Parange, Sancang, Pangandaran, Cipatujah, yang pemandangannya tidak kalah indah. Sedangkan untuk wilayah pegunungan, ada tiga gunung yang cukup diperhitungkan. Di antaranya, Papandayan, Cikuray, Guntur.

Ketiga gunung itu adalah gunung yang merangsang para pendaki untuk menaklukkan puncaknya. Untuk gunung Papandayan, adalah gunung yang paling laku dikunjungi. Sedangkan Guntur, gunung yang paling jarang dijamah, karena masih jarang dikenal. Nah, kali ini jelajah.travel akan mengajak pembaca untuk mengikuti perjalanan menuju puncak Cikuray. Gunung yang memiliki ketinggian 2.821 mdpl ini, berada di perbatasan kecamatan Bayongbong, Cikajang dan Dayeuh Manggung.

Gunung Cikuray termasuk sebagai gunung yang tidak aktif dan identik dengan bentuknya yang menyerupai kerucut raksasa. Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik bentuknya, di gunung ini sulit ditemukan mata air sepanjang perjalanan menuju puncak. Jalur pendakian gunung Cikuray sangat unik dan menantang. Trek yang terjal dan sulit menjadi tantangan tersendiri untuk mencapai puncak pendakian gunung ini. Sehingga, untuk mencapai puncak gunung, para pendaki dapat menempuh perjalanan dalam waktu 7-8 jam pendakian.


Kebanyakan, untuk mencapai puncak Cikuray, para pendaki mengawali perjalanan melalui desa Dayeuh Manggung kecamatan Cilawu, Garut. Dibanding dengan jalur Bayongbong atau Cikajang. Jalur ini relatif lebih mudah untuk didaki menuju puncak. Dari terminal bus Guntur, Garut, dapat dilanjutkan dengan menggunakan angkot bernomor 06, trayek Garut-Cilawu dengan tarif sekitar Rp. 3000,-. Lalu turun di Patrol dan kemudian lanjut menuju perkebunan teh Dayeuh Manggung.

Dari Patrol, pendaki dapat menyewa jasa ojek dengan tarif sekitar Rp. 20.000. Bagi yang ingin berjalan kaki, perjalanan dapat ditempuh dalam waktu 2-3 jam menuju pemancar. Kondisi jalan menuju pemancar sendiri merupakan jalan beraspal dan melewati pemukiman penduduk. Setelah itu akan melewati perkebunan teh dengan jalan berbatu dan cukup membosankan namun sangat indah pemandangannya.

Sebelum meelanjutkan pendakian, sudah lumrah bagi para pendaki mempersiapkan kebutuhan air bersih untuk pendakian di pos pemancar. Karena setelah itu tidak akan ditemukan lagi sumber air bersih, hingga menuju puncak. Setelah menyiapkan semuanya di camp pemancar, pendakian dimulai dengan melalui jalan setapak perkebunan teh. Sehabis perkebunan teh, akan dijumpai jalur dengan bukit ilalang dan selanjutnya memasuki hutan yang semakin lebat ke dalamnya.



Dari sinilah tantangan akan terjalnya gunung ini dapat dinikmati hingga menuju puncak bayangan. Waktu tempuh dari camp pemancar menuju puncak bayangan sekitar 4-5 jam. Di sini pendaki dapat mendirikan tenda karena areanya yang cukup luas atau sekedar istirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak.

Dari puncak bayangan, pendakian dilanjutkan agak ke kanan untuk menuju puncak Cikuray. Perjalanannya sendiri membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam pendakian. Jalur menuju puncak gunung ini sudah agak terbuka vegetasi hutannya dan berbatu sehingga dituntut untuk tetap hati-hati.

Pendakian akan berakhir di puncak Cikuray. Terdapat sebuah shelter permanen yang bisa digunakan untuk tempat istirahat atau bermalam sekalipun. Area puncak Cikuray cukup luas dan dapat memuat hingga sekitar 10 tenda. Namun angin di area ini cukup kencang, oleh karena itu untuk dapat dijadikan pertimbangan jika ingin mendirikan tenda di sini.

Terhampar pemandangan yang indah sekali dari puncak, Gunung Papandayan terlihat jelas dari area ini serta lautan awan kinton seperti sedang berpawai. Selain itu kita juga dapat menikmati pemandangan kota Garut dari ketinggian. Hanya ada dua kata untuk menuju puncak: atur nafas atau turun kembali karena kelelahan. (ali ibnu anwar)


Monday, 6 June 2016

Mengintip Senja di Stupa Borobudur

13:30:00

Tenggelamnya matahari ibarat penutup hari. Tidak mengherankan banyak orang berburu momen menarik ini dengan memilih lokasi berhamparan luas. Pantai dan laut menjadi salah satu tempat paling diminati untuk menikmati hari temaram menjelang petang. Ada pula yang memilih taman luas dengan hamparan rumput hijau. Tapi, pernahkah Anda mencoba memandangi matahari yang mulai terbenam di antara stupa-stupa candi? Jika belum, cobalah nikmati sensasi sunset di antara stupa-stupa Candi Borobudur.

Bayangkan ada 504 buah stupa di seluruh tingkatan lantai candi yang bisa kita gunakan untuk mengintip matahari terbenam. Menikmati perubahan warna langit di antar ratusan stupa menjadi penutup yang sempurna setelah seharian penuh menikmati kemegahan candi yang menakjubkan. Apalagi jika kita beruntung, akan menyaksikan awan berarak di atas langit Borobudur menjelang ketika malam menjelang.

Ketika menapaki tangga demi tangga menjelang senja, suasana hening lebih terasa dibandingkan siang hari yang penuh dengan wisatawan. Suasana hening seperti saat umat beribadah kian terasa ketika hari mulai berganti. Apalagi jika kicauan burung di sekitar candi yang rimbun terdengar jelas dari balik stupa. Cobalah lihat ke arah barat, tempat matahari menenggelamkan diri. Warna langit yang berubah menjadi pemandangan indah dan mempesona. Sinar matahari terang, kini perlahan melindap seiring hari yang mulai gelap.


Saat-saat matahari akan terbenam inilah suasana menarik sangat terasa. Kilau keemasan cahaya matahari berubah menjadi jingga yang menyapu ratusan stupa yang berdiri tegak. Lorong-lorong candi pun tak luput dari siraman cahaya jingga. Di antara deretan stupa, kita dapat menyaksikan patung Buddha yang berdiri tegak disiram cahaya yang mulai temaram. Ketika hari makin gelap, yang tersisa hanya suasana hening dan damai. Dari atas perbukitan, Borobudur memancarkan aura kemegahan yang telah hadir sejak berabad silam.

Ya, Candi Borobudur bukan hanya menghadirkan kemegahan ketika matahari tepat di atas langit stupa. Candi Buddha yang memiliki 1460 relief bukan sekadar tempat ibadah bagi umat Buddha, tapi juga menjadi destinasi wisata yang tak pernah lekang oleh zaman. Kemegahan Borobudur juga bisa dilacak dari sejarah berdirinya. Apalagi Borobudur dibangun tiga abad sebelum Angkot Wat berdiri di Kamboja dan empat abad sebelum Katedral Agung hadir di Eropa. Borobudur dibangun antara 750-842 Sebelum Masehi.

Borobudur dibangun Raja Samaratungga, salah satu raja di Kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Sesuai dengan prasasti Kayumwungan disebutkan bahwa Candi Borobudur merupakan tempat ibadah yang selesai dibangun pada 26 Mei 824 atau satu abada sejak pertama kali dibangun. Menurut berbagai sumber, nama Borobudur berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara). Tapi, ada juga yang mengartikannya biara yang terletak di tempat tinggi.

Bentuk bangunan Borobudur menunjukan identitas Indonesia masa lalu yang sangat kuat yang telah lama mengenal bangunan modal punden berubdak. Punden berundak Borobudur terdiri dari 10 tingkat dengan ketinggian 42 meter. Tapi, setelah direnovasi, ketinggian hanya 34,5 meter karena tingkat terbawah digunakan sebagai penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi berupa stupa Buddha menghadap ke arah barat.

Menurut falsafah pendiriannya, setiap tingkat melambangkan tahap kehidupan manusia. Sesuai ajaran Buddha Mahayana, manusia yang ingin mencapai tingkat sebagai Buddha harus melalui setiap tingkatan kehidupan seperti Kamadhatu, Rupadhatu hingga Arupadhatu. Pada setiap tingkatan ini terdapat relief-relief yang dapat kit abaca jika kita memutari candi mengikuti arah jarum jam. Ini bisa kita dimulai dari arah kiri dari pintu masuk candi.

Relief-relief di Candi Borobudur berkisah tentang banyak hal. Salah satunya adalah Ramayana yang sangat terkenal. Selain itu, ada juga relief tentang ajaran-ajaran Buddha. Karena itu, bagi mereka yang ingin mempelajari filosofi ajaran Buddha selalu diajarkan untuk membaca relief-relief ini. Hal lain yang termaktub dalam relief ini adalah kondisi masyarakat pada masa ketika Borobudur didirikan. Dari sini tergambar jelas kemajuan teknologi pertanian yang telah dikuasai.

Meski relief-relief itu mengisahkan kondisi masyarakat, tapi kondisi masyarakat di sekitar candi masih menjadi misteri dan belum terungkap. Selain itu, kenapa Candi Borobudur bisa ditemukan dalam kondisi terkubur juga belum terungkap. Beberapa pendapat mengatakan daerah di sekitar candi pada masa dibangun merupakan rawa yang terbenam akibat letusan Gunung Merapi. Bagi yang meyakini pendapat ini merujuk pada Prasasti Kalkutta tentang tulisan 'Amawa' yang berarti lautan susu. Kata itu diartikan sebagai lahar Merapi.

Kehebatan dan kemegahan dari aspek sejarah pendirian maupun arsitektural membuat Candi Borobudur ditetapkan sebagai situs arkeologis Candi Buddha terbesar di dunia versi Guiness World Records. Borobudur diakui secara resmi dengan nomor klaim 396-198 di Guinness World Records di London, Inggris sebagai situs arkeologis candi Buddha terbesar di dunia. Pencatatan dilakukan pada 27 Juni 2012.

Tuesday, 31 May 2016

Legenda Bandung Bondowoso di Candi Prambanan

08:22:00

Bangunan ini tampak kokoh menjulang. Tapi, jangan samakan dengan apartemen maupun tower perkantoran yang hanya berbentuk kotak-kotak. Lancip di bagian ujung paling atas, bangunan ini menawarkan pesona keindahan masa lalu. Ya, inilah Candi Prambanan yang tersohor ke delapan penjuru mata angin. Candi yang dibangun pada abad ke-10 di masa dua pemerintahan dua raja yakni Rakai Pikatan dan Rakai Balitung ini menjulang setinggi 47 meter, lima meter lebih tinggi dibandingkan dengan Candi Borobudur.

Candi yang tergolong candi-candi yang dibangun oleh raja-raja Dinasti Sanjaya ini adalah candi Hindu yang paling cantik. Berdirinya candi ini bisa ditelusuri dari dua sisi: fakta sejarah berupa prasasti-prasasti dan legenda-legenda yang hidup di tengah masyarakat. Berdasarkan Prasasti Siwargrarha yang berangka 856 Masehi, terdapat nama Pikatan yang melahirkan pendapat candi ini dibangun oleh Rakai Pikaran. Pembangunan candi ini dilanjutkan oleh Rakai Balitung hingga selesai pada abad ke-10.

Candi Prambanan memiliki tiga candi utama yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa sebagai lambing Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Candi Siwa, Angsa untuk Candi Brahma, dan Garuda untuk Candi Wisnu. Selain itu, ada dua candi apit, empat candi kelir, dan empat candi sudut. Di halaman kedua terdapat 224 candi.


Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah sosok manusia setengah burung bernama Garuda. Garuda adalah burung mistik dalam mitologi Hindu dengan tubuh emas, wajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Sosok Garuda diperkirakan adaptasi Hindu atas Bennu (berarti 'terbit' atau 'bersinar' yang diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna, kakak Garuda yang lahir cacat dengan mencuri Tirta Amerta atau air suci para dewa.

Dalam kajian pakar sejarah, JG Casparis, banyak hal menarik pada relief maupun prasasti di candi ini. Selain itu ada dua hal penting pada prasasti yakni bahasa dan isinya. Bahasa prasasti adalah contoh prasasti tertua yang memiliki angka tahun dalam tulisan puisi Jawa kuno. Adapun isinya memuat bahan atau peristiwa sejarah yang sangat penting dari pertengahan abas ke-9.

Isi prasasti menggambarkan proses pembangunan gugusan candi disertai peristiwa-peristiwa lain yang terjadi pada masanya. Peristiwa ini tidak lain perangn antara Balaputeradewa dari Dinasti Saylendra melawan Rakai Pikatan dari Dinas Sanjaya. Balaputeradewa kalah dan melarikan diri ke Sumatera. Pasca kemenangan, keluarga Rakai Pikatan melakukan konsolidasi yang menjadi permulaan masa baru yang ditandai pembangunan pembangunan gugusan candi besar. Inilah pintu menyingkap misteri kenapa begitu banyak candi di kompleks Prambanan.

Candi Prambanan yang elok sempat mengalami masa sulit akibat perpindahan pusat kerajaan Mataram ke Jawa Timur sehingga candi-candi di kompleks ini tidak terawat. Gempat bumi dan letusan Gunung Merapi membuat candi ini runtuh dan menyisakan puing-puing. Keberadaan puing-puing candi ini menarik perhatian CA Lons, seorang arkeolog Belanda yang mengunjungi Jawa pada tahun 1733 dan melaporkan lokasi reruntuhan candi.


Berdasarkan laporan CA Lons, Ijzerman memulai pembersihan bilik-biulik candi dari reruntuhan batu pada tahun 1885. Usaha ini dilanjutkan oleh Van Erp pada sejumlah candi di kompleks ini seperti candi Siwa, candi Wisnu dan candi Brahma pada tahun 1902. Pada tahun 1933 disusunlah percobaan pemugaran candi Brahma dan Wisnu. Proses ini dilanjutkan oleh bangsa Indonesia hingga pemugaran Candi Siwa selesai pada 23 Desember 1953 dan diresmikan oleh Presiden RI Dr. Ir. Soekarno.

Pemugaran candi di kompleks Prambanan dilanjutkan dengan pemugaran Candi Brahma dan Candi Wisnu. Pemugaran Candi Brahma dimulai tahun 1977 dan diresmikan oleh Prof Dr. Haryati Soebandio pada 23 Maret 1987. Adapun pemugaran Candi Wisnu mulai tahun 1982 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 27 April 1991. Pemugaran berikutnya pada tiga candi di depan Candi Siwa, Wisnu dan Brahma besarta empat candi kelir dan empat candi di sudut.

Kehadiran Candi Prambanan ini juga disertai legenda yang hidup di tengah masyarakat tentang pendirian candi ini. Konon ada dua kerajaan besar pada masa lalu yakni Kerajaan Pengging dan Kraton Boko. Prabu Boko, raja Kraton Boko bersama pasukan terlatih memberontok terhadap Kerajaan Pengging. Pemberontakan ini menyebabkan kalaparan rakyat Kerajaan Pengging. Melihat kondisi ini, Raja Pengging, Prabu Damar Moyo mengutus Raden Bandung Bondowoso, anaknya untuk perang melawan Prabu Boko.

Bandung Bondowoso berhasil membunuh Prabu Boko. Tangan kanan Prabu Boko, Patih Gupolo dikejar hingga ke Kraton Boko. Di sinilah Bandung Bondowoso melihat Roro Jonggrang, putri Prabu Boko yang tersohor kecantikannya. Bandung Bondowoso pun berniat memperisteri Roro Jonggrang. Sayang, Roro Jonggrang tidak berselera, tapi takut bagaimana menolaknya. Akhirnya Roro Jonggrang mengatur siasat dengan mengajukan dua permintaa.

Pertama, Roro Jonggrang minta dibuatkan sumur Jalatunda. Kedua, Roro Jonggrang minta dibuatkan 1.000 candi dalam waktu satu malam. Tak dinyana, permintaan itu dituruti oleh Raden Bandung Bondowoso yang saksi mandraguna. Sumur itu jadi dalam sekejap. Begitu pula dengan 1.000 candi yang harus dibangun dalam semalam.

Permintaan membuat 1.000 candi hampir terpenuhi. Bandung Bondowoso terus ngebut membuat candi. Melihat keberhasilan ini, Roro Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi serta membuat api besar supaya muncul kesan suasana pagi hari. Bondowoso kaget karena baru 999 candi yang selesai dan hari seperti sudah mau berganti. Belakangan, Bandung Bondowoso sadar kalau dicurangi. Dia marah dan mengutuk Roro Jonggrang menjadi candi yang ke-1000.

Monday, 30 May 2016

Ketep, Tempat Terbaik Menikmati Pemandangan Puncak Merapi dan Merbabu

06:52:00

Ketep. Belum banyak yang tahu lokasi wisata di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini. Padahal tempat wisata ini dahsyat banget lho keindahannya. Keindahan yang sempurna menurut pendapat subyektif  saya. Bayangkan dari sini, ada lima Gunung yang bisa kita nikmati. Sindoro, Sumbing, Merapi, Merbabu, dan Slamet. Semuanya bisa ditangkap dengan mata telanjang. Depan belakang, samping kanan dan kiri, sampai kita dibingungkan harus memfokuskan obyek yang mana. Semua sama mempesonanya.

Wisata Ketep sudah cukup digarap serius oleh pemerintah setempat, meski ada bolong di sana sini, terutama transportasi pendukungnya. Kita bisa menonton film tentang kegunungapian di Museumnya. Titik pandang mata seperti terlihat ada di gambar tersedia kursi dan tempat nongkrong. Ketika saya memasang foto ini di facebook, banyak yang bertanya di hotel mana ini? Padahal tempat ini benar-benar  murni lokasi wisata, tidak ada restoran, juga hotelnya. Kalaupun ada tempat makan dan minum, hanya gardu-gardu sederhana milik warga setempat.

Sudah kali ke sekian saya mengunjungi Ketep. Pada kunjungan terakhir inilah Gunung Merapi sebersih ini baru dapat saya nikmati. Maka, begitu mendapatkan  keindahan yang begitu sempurna ini, saya kalap memotret. Kamera poket dan BB ini  tak henti-hentinya membidik semua yang mampu saya jepret.  Belum pernah saya senorak ini, kawan. Naik di atas pagar yang mestinya tidak boleh dilakukan karena bahaya, bisa jatuh ke bawah. Miring ke kanan, ke kiri. Pokoknya....saya benci kamera yang seolah-olah baru pertama kali punya kamera hehehe.



Di sebelah Gunung Merapi itu sebenarnya ada Gunung Merbabu. Cuma, (saya tak bermaksud membedakan keduanya), memotret Merapi memang lebih eye catching. Sementara dua gunung itu sulit dipotret  berdampingan. Mungkin karena saya bukan  fotografer. Jadi, saya cuma bisa memotret salah satunya.

Mengapa saya sekalap ini? Untuk menghasilkan pemandangan sebersih ini saya perlu berbagi. Jangan bernasib sial seperti saya sebelum-belumnya ketika mencoba mengunjungi Ketep. Pada kunjungan sebelum-belumnya, saya hanya menikmati kabut. Seperti orang buta yang berjalan dalam kegelapan. Tak menemukan apa-apa. Dan itu berulang-ulang terjadi. Sudah begitu ampun dinginnya. Brrr. Teman-teman penyuka perjalanan pasti tahu berwisata ke gunung itu seperti kita menunggu kekasih yang kita kunjungi, tetapi kunjung ke luar dari kamarnya. Kadang-kadang perlu sedikit rayuan.

Tapi memang begitulah gunung. Nah, untuk mengunjungi Ketep kita memang perlu bersusah payah. Yah...mirip pria yang menunggu si gadis menyatakan "iya" ketika sang jejaka sudah menyatakan cintanya agar cintanya diterima.

Pertama, kita mesti bangun pagi sekali. Yap pukul 4.30 saya sudah bangun. Saya harus berangkat pukul 05.00 karena saat tepat menikmati gunung-gunung itu pukul 06.00. Perjalanan ke Keteb sekitar satu jam dari Kota Yogyakarta.  Begitu tiba di Pabrik Kertas Blabak, mobil langsung belok kanan. Tidak usah taut tersesat, ikuti saja jalan satu arah. Muara terakhirnya, ya ke Keteb. Tapi makin ke atas,  kondisi jalan makin menukik takam. Yah lumayan dibikin menghela nafas berkali-kali deh. Tapi jangan khawatir, pemandangan kanan kiri  menuju Keteb sudah cantik.

Kalau naik mobil, saya sarankan buka jendela lebar-lebar. Offkan pendingin mobil. Rasakan aroma tanah, padi yang tumbuh di kanan kiri. Segarrrrrrrr benar. Saya sampai menyedot dalam-dalam bau di luar sana. Pipi ini dingin seperti es. Rambut berterbangan. (Tidak disarankan nyalon dulu ya ;) rugi berat).

Sekitar setengah jam dari Blabak, sampailah di Keteb. Begitu masuk pedagang strawberry dan buah (ya...lupa namanya) juga beragam sayur mayur yang harganya miring banget sudah memenuhi badan jalan menuju Keteb. Lebih baik belanja setelah menikmati keindangan panorama gunung itu ya? Mengapa begitu? Karena saat berkunjung itulah, saya menyaksikan  awan-awan berarak mulai menutupi gunung pukul  09.00. Jadi kita hanya punya waktu tiga jam untuk menikmati gunung yang demikian jelasnya. Tapi tiga jam dengan pemandangan seperti ini sungguh singkat lho. Saya sih merasa tidak cukup. Apalagi saya menyempatkan diri untuk duduk diam, berhenti berpikir :). Oh ya pemandangan awan-awan yang berarak menutupi gunungnya itu sendiri juga hiburan tersendiri untuk saya. Rasakan sendiri deh.

Tapi, satu hal yang perlu mendapat perhatian. Transportasi publik menuju kawasan ini masih kurang terorganisir dengan baik. Saya pernah ke sana. Waktu itu saya mengingap ke rumah teman di daerah Blabak. Mestinya selama-lamanya perjalanan by bus colt menuju Keteb sejam perjalanan. Ehhhhh, kami kesana sampai hampir 3 jam. Apa yang terjadi? Inilah kisahnya.

Pertama menunggu penumpang penuh yang bahkan bikin kita ketiduran sampai bangun lagi, tetapi kita masih berada di titik yang sama. Bwuuuahhhh...bikin muntap.mobil coltnya sendiri juga sudah renta, sehingga beberapa kali naik turun ketika tanjakan. Ini pula yang  bikin jantung serasa  protol (copot). Hadeeeehhh. Nah, maksud saya, mbok ya pemerintah turun tangan mengatasi  transportasi yang  buruk ini.  Kan nggak semua yang ke Keteb punya mobil dan motor?

Bukan berarti saya anti naik transportasi umum. Tapi, gara-gara menunggu waktu yang tak jelas itulah, saya yang sudah berangkat jam 8.00  waktu itu, jadi  tidak bisa menikmati lima gunung. .Karena perjalanan panjang menuju Keteb itu punya cerita, maka saya menjadikan foto-foto di Keteb ini salah satu koleksi terfavorit saya. Maklum penuh perjuangan.

Semoga kalian lebih singkat menikmati lima gunung ketimbang saya yang sampai bolak-balik cuma mendapat suguhan kabut melulu. Seperti orang buta. Tak menyaksikan apa pun kecuali berwarna putih.

Saturday, 28 May 2016

Legenda Ratu Boko dan Sosok Roro Jonggrang

11:07:00

Istana Ratu Boko bukan sekadar unik dan mempesona, tapi juga penuh misteri. Dibandingkan warisan bangunan yang lain, istana ini merupakan salah satu yang belum terungkap secara pasti asal-usul nama maupun pendirinya karena banyak sekali versi yang menyertainya. Belum lagi lokasinya di dataran tinggi, tidak seperti yang lain di tanah yang landai dan dataran rendah.

Namun, dari Prasasti Abhayagiriwihara di dalam situs ini, ditemukan bukti tertua dengan angka 792 Masehi. Prasasti ini menyebutkan seorang tokoh bernama Tejahpurnpane Panamkorono yang diperkirakan sebagai Rakai Panangkaran. Nama ini disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan tahun 779 Masehi, Prasati Mantyasih 907 Masehi, dan Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 Masehi. Rakai Panangkaran merupakan figure yang membangun Candi Borobudur, Candi Sewu, dan Candi Kalasan.

Meskipun prasasti ini memberikan gambaran yang cukup jelas, tapi kepastian tentang Istana Ratu Boko masih berselimut misteri. Kapan istana ini dibangun belum diketahui. Siapa yang membangun tempat ini juga belum terungkap. Untuk apa bangunan juga menjadi tanda tanya. Tentang fungsinya, beberapa ahli sejarah memiliki pandangan istana ini merupakan bangunan multifungsi yang terdiri dari beberapa komponen yakni benteng keraton (istana) dan gua.

Keberadaan istana di atas bukit ini tentu saja menjadi tantangan sendiri dalam pembangunannya. Prosesnya pasti lebih sulit dibangun dalam hal pengadaan tenaga kerja maupun bahan bangunan. Kecuali jika bahan bangunan utamanya berupa batu diambil dari wilayah bukit itu sendiri. Tentu saja ini menunjukkan keterampilan yang tinggi dari para pekerja sehingga mampu mengolah bukit batu menjadi bongkahan yang bisa digunakan sebagai bahan bangunan.


Letaknya yang di atas bukit menuntut adanya mata air serta sistem pengaturan air untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kolam pemandian adalah petunjuk dari sistem pengaturan ini. Posisi di atas bukit juga mampu menawarkan hawa sejuk dan pemandangan alam yang indah bagi penghuninya sekaligus menyulitkan lawan yang ingin menyerang. Lokasi istana di atas bukit ini juga memungkinkan proses peribadatan berlangsung lebih tenang.

Istana Ratu Boko bukan sekadar hanya bangunan suci (candi), tapi juga bangunan yang bersifat profane. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bangunan hunian dengan tiang dan atap dari bahan kayu. Selain itu, ada bangunan yang bersifat sakral dan profane yakni berupa kolam dan gua. Apa pun fungsinya, istana ini mampu menghadirkan kedamaian dan ketenangan penghuninya.

Sedangkan arti Istana Ratu Boko sendiri mengandung banyak pengertian. Pada awalnya istana ini bernama Abhayagiri Vihara (biara di bukit yang penuh kedamaian) sebagai tempat menyepi dan tempat konsentrasi mencari kehidupan spiritual. Istana ini berdiri pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa Syailendra. Nama Boko berarti Bangau, tapi tidak dipastikan apakah penguasa pada masa itu melabeli diri dengan arti nama ini.

Dalam sejumlah catatan sejarah disebutkan, Istana Ratu Keraton Boko merupakan benteng pertahanan Balaputradewa atau Rakai Kayuwangi, putera bungsu Rakai Pikatan. Konon Rakai Kayuwangi diserang oleh Rakai Walaing Puhuyaboni, cicit laki-laki Sanjaya yang merasa lebih berhak atas tahta dibandingkan Rakai Pikatan. Hal ini karena Rakai Pikatan merupakan suami dari Pramodharwani, puteri mahkota Samarottungga yang beragama Buddha.

Dalam pertempuran Rakai Walaing dipukul mundur dan terpaksa mengungsi di atas perbukitan Ratu Boko dan membuat benteng pertahanan. Tapi, pada akhirnya Istana Ratu dapat diduduki Rakai Kayuwangi dan merusak prasasti yang memuat silsilah Rakai Walaing. Akhirnya nama-nama ayah, kakek, dan buyut Rakai Wailang hilang dari prasasti. Di sinilah banyak misteri yang masih belum terungkap, termasuk siapa pendiri istana sebenarnya.

Istana Ratu Boko pertama kali ditemukan arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad ke-17. Dari prasasti berangka tahun 792 Masehi ini muncul pendapat bahwa Istana Ratu Boko didirikan oleh Rakai Panangkaran. Pada prasasti lokasi ini dikenal sebagai Abhayagiriwihara yang berarti biara yang dibangun di sebuah bukit yang penuh kedamaian. Pada masa pemerintahan Rakai Walaing Pu Kombayoni tahun 898-908, Abhayagiri Wihara berganti nama menjadi Keraton Walaing.

Dugaan banyak fungsi pada situs ini bisa dilihat dari beberapa hal. Menurut para pakar, dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, kuat dugaan bahwa situs ini bekas keraton yang didasari pada kenyataan kompleks ini bukan candi atau bangunan yang bersifat religious. Istana ini lebih mendekati istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai struktur pertahanan. Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar situs ini.

Sedangkan nama Ratu Boko konon berasal dari cerita turun temurun yang menjadi legenda bagi masyarakat setempat. Ratu Boko yang berarti Raja Bangau diduga kuat merupakan ayah dari Roro Jonggrang yang menjadi canam candi utama di kompleks Candi Prambanan.

Friday, 27 May 2016

Gemulai Dewi Shinta di Pelataran Prambanan

19:22:00

Panggung yang cukup besar itu tampak gelap gulita. Hanya siluet Candi Prambanan yang tampak samar-samar. Perlahan-lahan siluet berbentuk salah satu candi paling indah itu menyala terang. Tidak lama kemudian lampu dengan sinar yang kuat menyorot panggung. Tampaklah beberapa penari berlarian memasuki panggung. Suara gamelan terus mengiringi setiap gerakan penari.

Di atas tangga, tampak dua orang dayang keluar membawa sebusur panah emas. Mereka diikuti oleh seorang putri cantik yang berjalan gemulai menuruni anak-anak tangga. Ya, inilah Shinta, putri Prabu Janaka, Raja Negeri Mantili yang sedang menggelar sayembara untuk menentukan pendamping putrinya. Sayembara ini dimenangi oleh putera mahkota Kerajaan Ayodya, Raden Wijaya yang kelak dikenal sebagai Rama. Shinta yang cantik jelita menjadi isteri Rama.

Sayembara Prabu Janaka mencarikan suami untuk Shinta merupakan babak pertama dari empat babak pementasan Sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Pertunjukan kolosal di panggung terbuka ini berlanjut dengan babak berikutnya tentang petualangan Rama, Shinta, dan Laksmana di Hutan Dandaka. Di tengah belantara hutan ini mereka bertemu Rahwana, Raja Alengka yang sangat terpikat pada Dewi Widowati. Melihat kecantikannya, Rahwana yakin Shinta merupakan titisan Dewi Widowati, wanita yang sudah lama diincarnya.



Untuk menarik perhatian Shinta, Rahwana mengubah salah seorang pengikutnya yang bernama Marica menjadi seekor kijang emas yang cantik. Kehadiran rusa emas di tengah hutan membuat Shinta benar-benar terpikat dan membuat Rama memburunya. Sebagai suami yang baik, Rama menuruti keinginan isterinya. Berangkatlah Rama mengejar kijang emas ini. Sementara Shinta ditinggal bersama Laksmana.

Karena lama tidak kembali, Shinta mulai cemas. Dia meminta Laksmana menyusul suaminya. Laksmana tidak ingin meninggalkan Shinta seorang diri di tengah hutan tanpa pengawalan. Dengan kesaktian yang dimiliki, dia membuat pagar berupa lingkaran magis yang mengelilingi Shinta. Mengetahui Shinta seorang diri, Rahwana berusaha menculiknya, tapi gagal. Lingkaran sakti Laksmana cukup ampuh. Tapi, pagar ini dapat ditembus setelah Rahwana mengubah diri menadi Brahmana Tua. Shinta pun berhasil diculiknya.

Perjalanan membawa Shinta ke Alengka, Rahwana terhalang seekor burung Garuda bernama Jatayu yang ingin menolong Shinta. Tapi, usaha ini gagal hingga akhirnya Jatayu jatuh dan terluka cukup parah.

Di sisi yang lain, Rama terus mengejar kijang emas yang membuat isterinya terpikat. Tidak lama kemudian, Rama terkejut karena kijang ini berubah menjadi raksasa. Rama bertarung melawan raksasa jadi-jadian dan berhasil keluar sebagai pemenang. Rama yang bertemu kembali dengan Laksamana segera ke tempat Shinta ditinggalkan. Mereka terkejut karena Shinta sudah tidak ada di tempat. Mereka berusaha mencari ke mana gerangan Shinta berada.

Dalam perjalanan, Rama dan Laksmana menemukan Jatayu yang terluka. Rama menduga Jatayu yang menculik Shinta dan ingin membunuhnya. Beruntung Laksamana berhasil mencegah dan meyakinkan bahwa Jatayu bukanlah penculik Shinta. Akhirnya Jatayu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Tidak lama setelah semua kisah terungkap, Jatayu mati. Di tengah kesedihan

Muncul seekor kera putih bernama Hanoman yang diutus Sugriwa untuk mencari dua orang yang dapat mengalahkan Subali. Sugriwa tidak mampu mengalahkan Subali yang merebut kekasihnya, Dewi Tara. Akhirnya Rama bersedia membantu Sugriwa.

Mereka segera berangkat untuk merebut kembali Dewi Tara. Kedatangan mereka membuat kaget Subali, Dewi Tara, dan Anggodo yang sedang bercengkerama hingga terjadi peperangan. Rama membantu Sugriwa dan berhasil menang. Sugriwa bertemu kembali dengan Dewi Tara. Sesuai janjinya, Subali membalas kebaikan Rama dengan mengutus Hanoman untuk menyelidiki negeri Alengka, tempat Shinta disembunyikan Rahwana.

Di Kerajaan Alengka, Rahwana berusaha membujuk Shinta agar mau menjadi istrinya. Namun, Shinta terus menolak. Ketika merasa sedih, Shinta dikejutkan oleh kidung indah yang disuarakan oleh Hanoman. Kera putih ini mengabarkan bahwa dia utusan Rama yang akan membebaskan Shinta dari cengkeraman Rahwana. Setelah menjelaskan tujuannya, Hanoman merusak taman Kerajaan Alengka.

Ulah Hanoman membuat Indrajit, anak Rahwana, marah dan berhasil menangkap Hanoman. Si kera putih ini dijatuhi hukuman mati dengan cara dibakar. Tapi, saat dibakar, Hanoman berhasil kabur dan justru membakar kerajaan dengan tubuhnya yang penuh api. Kabar Hanoman selamat ini didengar oleh Rama. Dia segera bertolak ke Alengka dengan pasukan kera untuk menyerang kerajaan dan membuat pasukan Alengka kocar-kacir. Rama berhasil membunuh Rahwana.

Rama kini bebas membawa kembali Shinta. Tapi, ketika bertemu Rama tidak mempercayai Shinta karena menduga sudah ternoda oleh Rahwana. Untuk membuktikan kesucian dirinya, Shinta diminta membakar tubuhnya. Akhirnya terbukti bahwa Shina belum ternoda. Rama pun menerima kembali Shinta sebagai istrinya.

Pertunjukan selama dua jam ini terasa singkat karena keindahan gerakan penari yang mampu menggambarkan bahasa yang ingin diungkapkan. Shinta bukan hanya cantik parasnya, tapi juga gemulai gerakannya. Begitu juga Rama maupun Laksmana yang tenang tapi penuh kharisma sehingga aura sosok kharismatik sangat menonjol. Pun dengan Rahwana yang berwatak kasar tapi mampu tampil dengan cara jenakan. Yang patut disimak adalah kelincahan Hanoman.

Selain tarian yang dipadu dengan suara gamalen, kostum para penari mampu memikat mata untuk terus menatapnya. Apalagi dalam pertunjukkan ini disajikan juga permainan bola api dan permainan acrobat. Permainan api dapat disaksikan saat Hanoman akan dibakar hidup-hidup tapi kabur dan membakar Kerajaan Alengka. Permainan api yang juga memikat adalah saat Shinta ingin membuktikan kesuciannya dengan membakar dirinya hidup-hidup.

Salah satu nilai lebih pertunjukkan kolosal ini adalah permainan cahaya untuk menggambarkan suasana hati tokoh dalam cerita. Kekuatan ini semakin enak dinikmati di bawah siraman bintang dan langit malam di pelataran Candi Prambanan. Sebuah sensasi pertunjukkan yang tak mungkin mudah dilupakan.

Motif Daun Tembaku, Keunikan Batik Rolla Jember

11:26:00

Sejak beberapa tahun terakhir, nama Jember identik dengan pagelaran busana di atas jalanan sebagai catwalk yang dikenal dengan Jember Fashion Carnival (JFC). Peragaan busana di atas jalan protokol kota sepanjang tiga kilometer itu menarik perhatian dunia internasional karena ajang ini menyerupai Rio de Janerio carnival di Brasil yang amat tersohor. Sejatinya Jember memiliki identitas lain yang belum banyak dikenal. Batik Rolla namanya.

Ya, inilah batik dengan motif daun tembakau sebagai sebagai ciri khas yang tidak ditemukan di tempat lain seperti Solo, Yogyakarta, Pekalongan hingga Madura. Sebagai daerah yang dikenal sebagai penghasil tembakau ternama di Indonesia, Batik Rolla menggabungkan dua kekuatan identitas pertanian itu dengan kreasi batik yang unik. “Tembakau merupakan identitas Jember yang sudah dipatenkan,” kata Iriane Chairini, penggagas dan pencetus Batik Rolla.



Selain motif daun tembakau, motif Batik Rolla kini berkembang ke motif lain seperti biji kopi, coklat, buah naga, hingga penyu. Motif-motif ini diambil dari tanaman dan hewan yang hidup dan berkembang di kawasan Jember. Tidak mengherankan motif Batik Rolla berbeda dibanding motif batik dari daerah lain. Tampilannya lebih segar karena motifnya diambil dari tanaman yang sudah terkenal di daerah ini.

Meski batik sudah dikenal masyarakat Jember sejak satu abad lebih, Batik Rolla belumlah lama dikembangkan di Jember. “Saya mulai mengenalkan batik motif tembakau Jember ini baru tahun 2010,” katanya. Di rumahnya di Sumber Pakem, Kecamatan Sumber Jambe, dia mengajak para perempuan terlibat dalam pengembangan Batik Rolla. Dari semula hanya 10 orang, kini telah berkembang mencapai 155 orang. Mereka dilatih keterampilan membatik dengan instruktur yang didatangkan langsung dari Pekalongan.

Iriane mengatakan motif batiknya akan terus dikembangkan tanpa meninggalkan identitas motif tembakau yang sudah dikenal orang. Inspirasi modifnya kadang datang dari pegalaran JFC yang mengangkat tema berbeda setiap tahun. Festival tahunan ini pula yang dijadikan sebagai ajang untuk mengenalkan batik buatannya secara luas. “Alhamdulillah, motif Batik Rolla bisa diterima masyarakat luas,” katanya.

Batik Rolla menawarkan aneka rupa batik sesuai proses pembuatannya mulai batik tulis, batik cap, hingga kombinasi batik tulis dan cap. “Yang kami andalkan memang batik tulis karena punya nilai estetika sendiri,” katanya. Harga batik tulis dibanderol sekitar Rp 350 ribu hingga Rp 750 ribu per lembar. Sedangkan batik kombinasi tulis dan cap antara Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu. Khusus untuk batik cap lebih murah yakni Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu. Cukup lumayan untuk ukuran sebuah batik.

Thursday, 26 May 2016

Misteri Istana Ratu Boko

08:33:00

Istana Ratu Boko bukan sekadar unik dan mempesona, tapi juga penuh misteri. Dibandingkan warisan bangunan yang lain, istana ini merupakan salah satu yang belum terungkap secara pasti asal-usul nama maupun pendirinya. Belum lagi lokasinya di dataran tinggi, tidak seperti yang lain di tanah yang landai dan dataran rendah.

Namun, dari Prasasti Abhayagiriwihara di dalam situs ini, ditemukan bukti tertua dengan angka 792 Masehi. Prasasti ini menyebutkan seorang tokoh bernama Tejahpurnpane Panamkorono yang diperkirakan sebagai Rakai Panangkaran. Nama ini disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan tahun 779 Masehi, Prasati Mantyasih 907 Masehi, dan Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 Masehi. Rakai Panangkaran adalah figur yang membangun Candi Borobudur, Candi Sewu, dan Candi Kalasan.

Meskipun prasasti ini memberikan gambaran yang cukup jelas, tapi kepastian tentang Istana Ratu Boko masih berselimut misteri. Kapan istana ini dibangun belum diketahui. Siapa yang membangun tempat ini juga belum terungkap. Untuk apa bangunan juga menjadi tanda tanya. Tentang fungsinya, beberapa ahli sejarah memiliki pandangan istana ini merupakan bangunan multifungsi yang terdiri dari beberapa komponen yakni benteng keraton (istana) dan gua.

Keberadaan istana di atas bukit ini tentu saja menjadi tantangan sendiri dalam pembangunannya. Prosesnya pasti lebih sulit dibangun dalam hal pengadaan tenaga kerja maupun bahan bangunan. Kecuali jika bahan bangunan utamanya berupa batu diambil dari wilayah bukit itu sendiri. Tentu saj ini menunjukkan keterampilan yang tinggi dari para pekerja sehingga mampu mengolah bukit batu menjadi bongkahan yang bisa digunakan sebagai bahan bangunan.



Letaknya yang di atas bukit menuntut adanya mata air serta sistem pengaturan air untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kolam pemandian adalah petunjuk dari sistem pengaturan ini. Posisi di atas bukit juga mampu menawarkan hawa sejuk dan pemandangan alam yang indah bagi penghuninya sekaligus menyulitkan lawan yang ingin menyerang. Lokasi istana di atas bukit ini juga memungkinkan proses peribadatan berlangsung lebih tenang.

Istana Ratu Boko bukan sekadar hanya bangunan suci (candi), tapi juga bangunan yang bersifat profane. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bangunan hunian dengan tiang dan atap dari bahan kayu. Selain itu, ada bangunan yang bersifat sakral dan profane yakni berupa kolam dan gua. Apa pun fungsinya, istana ini mampu menghadirkan kedamaian dan ketenangan penghuninya.

Sedangkan arti Istana Ratu Boko sendiri mengandung banyak pengertian. Pada awalnya istana ini bernama Abhayagiri Vihara (biara di bukit yang penuh kedamaian) sebagai tempat menyepi dan tempat konsentrasi mencari kehidupan spiritual. Istana ini berdiri pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa Syailendra. Nama Boko berarti Bangau, tapi tidak dipastikan apakah penguasa pada masa itu melabeli diri dengan arti nama ini.

Dalam sejumlah catatan sejarah disebutkan, Istana Ratu Keraton Boko merupakan benteng pertahanan Balaputradewa atau Rakai Kayuwangi, putera bungsu Rakai Pikatan. Konon Rakai Kayuwangi diserang oleh Rakai Walaing Puhuyaboni, cicit laki-laki Sanjaya yang merasa lebih berhak atas tahta dibandingkan Rakai Pikatan. Hal ini karena Rakai Pikatan merupakan suami dari Pramodharwani, puteri mahkota Samarottungga yang beragama Buddha.

Dalam pertempuran Rakai Walaing dipukul mundur dan terpaksa mengungsi di atas perbukitan Ratu Boko dan membuat benteng pertahanan. Tapi, pada akhirnya Istana Ratu dapat diduduki Rakai Kayuwangi dan merusak prasasti yang memuat silsilah Rakai Walaing. Akhirnya nama-nama ayah, kakek, dan buyut Rakai Wailang hilang dari prasasti. Di sinilah banyak misteri yang masih belum terungkap, termasuk siapa pendiri istana sebenarnya.

Istana Ratu Boko pertama kali ditemukan arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad ke-17. Dari prasasti berangka tahun 792 Masehi ini muncul pendapat bahwa Istana Ratu Boko didirikan oleh Rakai Panangkaran. Pada prasasti lokasi ini dikenal sebagai Abhayagiriwihara yang berarti biara yang dibangun di sebuah bukit yang penuh kedamaian. Pada masa pemerintahan Rakai Walaing Pu Kombayoni tahun 898-908, Abhayagiri Wihara berganti nama menjadi Kraton Walaing.

Dugaan banyak fungsi pada situs ini bisa dilihat dari beberapa hal. Menurut para pakar, dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, kuat dugaan bahwa situs ini bekas keraton yang didasari pada kenyataan kompleks ini bukan candi atau bangunan yang bersifat religious. Istana ini lebih mendekati istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai struktur pertahanan. Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar situs ini.

Sedangkan nama Ratu Boko konon berasal dari cerita turun temurun yang menjadi legenda bagi masyarakat setempat. Ratu Boko yang berarti Raja Bangau diduga kuat merupakan ayah dari Loro Jonggrang yang menjadi canam candi utama di kompleks Candi Prambanan.

Wednesday, 25 May 2016

Menjemput Pagi di Istana Ratu Boko

19:15:00

Lupakan sejenak menikmati matahari terbit di puncak gunung atau hamparan laut. Coba datang ke Istana Ratu Boko ketika fajar menjelang. Pemandangan di istana megah seluas 250.000 meter persegi ini tidak hanya menawarkan pesona pagi, tapi juga sensasi kedamaian di atas bukit sesuai arti namanya. Lokasi ini relatif mudah dijangkau dan tidak sulit kendaraan yang dapat mengantar wisatawan kapan pun kita mau.

Jika ingin lebih simple mengatur perjalanan ke Istana Ratu Boko, kita bisa mendaftar menjadi peserta Boko Trekking di Taman Wisata Candi. Paket yang ditawarkan tidak hanya berkeliling candi, tapi juga menikmati senja di Plasa Andrawina (salah satu bangsal Istana Ratu Boko), lalu bermalam di bawah naungan tenda dan trekking menapaki satu demi satu bukit Boko sambil menikmati matahari terbit serta melihat candi-candi di kompleks Ratu Boko.

Seperti ritual menikmati matahari terbit di tempat lain, perjalanan mesti dimulai sejak dini hari, sekira antara pukul 03.00 - 04.00 WIB. Perjalanan bisa diawali menuju Bukit Tugel. Karena hari masih gelap, mungkin belum banyak pemandangan yang dapat kita nikmati. Tapi, tidak perlu khawatir karena hiburan lain bisa didapat: nada alam dari suara serangga maupun burung yang segera diganti dengan sahutan kokok ayam.

Perjalanan menuju Bukit Tugel biasanya berakhir sebelum fajar menjelang sehingga masih ada cukup waktu untuk istirahat menunggu matahari terbit. Inilah saat paling tepat untuk menikmati langit yang berubah. Langit malam yang gelap perlahan-lahan digantikan dengan gradasi warna kuning ke merah-merahan. Semakin lama, warna kuning makin dominan sebagai penanda bahwa matahari sudah mulai tinggi.


Ketika matahari benar-benar menghiasi pagi, warna langit segera berubah menjadi biru dan awan pun berganti menjadi putih. Begitu matahari terlihat bulat di ujung timur, pemandangan alam di Bukit Tugel mulai menggoda. Cobalah tengok sisi utara. Gunung Merapi yang kokoh bersama asap putih yang selalu menyertai menandakan betapa kokoh si Merapi ini. Di sisi utara juga kita bisa menyaksikan kemegahan Candi Prambanan sebagai candi Hindu tercantik di muka bumi. Jangan lupakan pula pemandangan Kota Yogyakarta bersama hamparan sawah dan pedusunan.

Istana Ratu Boko yang terletak 196 meter di atas permukaan laut menyuguhkan kedamaian ala perbukitan masa silam di pagi hari. Area istana yang cukup luas ini terbagi menjadi empat, yaitu tengah, barat, tenggara, dan timur. Bagian tengah terdiri dari gapura utama, lapangan, Candi Pembakaran, kolam, batu berumpak, dan Paseban. Bagian tenggara meliputi Pendopo, Balai-balai, tiga candi, kolam, dan kompleks Keputren. Kompleks gua, stupa Buddha, dan kolam ada di bagian timur. Sedangkan bagian barat hanya terdiri atas perbukitan.

Jika kita masuk dari pintu gerbang istana, kita bisa langsung menuju bagian tengah. Dua gapura besar siap menyambut. Gapura pertama memiliki tiga pintu dan gapura kedua punya lima pintu. Kita bisa menemukan tulisan Panabwara di gapura pertama. Berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, tulisan ini dibuat oleh Rakai Panabwara, keturunan Rakai Panangkaran yang mengambil alih Istana Ratu Boko. Tulisan ini untuk melegitimasi kekuasaan, memberi kekuatan dan tanda bahwa bangunan itu adalah bangunan utama.

Jika kita telusuri bagian dalam candi, kita disuguhi pemandangan rerumputan yang menghampar diselingi oleh tumpukan batu serupa panggung yang disebut Paseban. Inilah tempat para tamu  yang menunggu untuk bertemu dengan Raja. Di bagian lain kita mudah menemukan reruntuhan batu bekas bangunan. Reruntuhan ini justru menggambarkan betapa megah istana yang dibangun oleh seorang Buddha dengan unsur-unsur bangunan Hindu ini. Tidak heran makin masuk bagian dalam candi, nuansa eksotis semakin terasa.

Bagian dalam Istana Ratu Boko banyak memiliki kontur perbukitan yang naik turun. Di satu sisi terdapat bentuk bangunan yang menyerupai panggung. Bisa jadi bangunan ini merupakan bagian dari lantai bangunan. Di bagian yang lain ada tempat yang dilingkupi tembok batu dan beberapa kolam tempat mandi penghuni istana. Tidak jauh dari kolam-kolam pemandian ini terdapat kolam lain yang digunakan sebagian orang untuk memancing.

Mari kita simak satu persatu kemegahan istana ini dari gapura kedua. Kita langsung menemukan bangungan candi berbahan dasar batu putih sehingga dikenal orang sebagai Candi Batu Putih. Tidak seberapa jauh dari candi ini kita bisa menemukan Candi Pembakaran yang berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 26 meter x 26 meter yang memiliki dua teras. Sesuai namanya, candi itu digunakan untuk membakar jenazah.

Salah satu misteri dalam istana ini yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah sumur di sisi tenggara Candi Pembakaran. Banyak yang meyakini sumur ini bernama Amerta Mantana atau air suci yang telah diberi mantra. Bagi sebagian kalangan, air sumur ini diyakini mampu membawa keberuntungan bagi penggunanya. Sedangkan umat Hindu menggunakan air sumur ini sebagai air untuk upacara Tawur Agung sehari sebelum Nyepi. Penggunaan air bertujuan memurnikan diri kembali dan mengembalikan bumi dan isinya pada harmoni awal.

Pada bagian timur istana adalah dua buah gua, kolam besar berukuran 20 meter x 50 meter dan stupa Buddha yang terlihat tenang. Dua gua ini terbuat dari batuan sedimen yang disebut Breksi Pumis. Gua yang terletak lebih tinggi disebut Gua Lanang. Sedangkan gua di posisi lebih rendah Gua Wadon. Persis di muka Gua Lanang terdapat sebuah kolam dan tiga stupa. Berdasarkan sebuah penelitian, diketahui bahwa stupa itu merupakan Aksobya, salah satu Pantheon Budha.

Dibandingkan dengan warisan yang lain, Istana Ratu Boko memiliki keunikan tersendiri. Jika bangunan lain biasanya berupa candi atau kuil, Istana Ratu Boko justru memiliki ciri-ciri sebagai tempat tinggal. Hal ini bisa dilhat dari penggunaan bahan kayu untuk tiang dan atap meskipun kini sudah tidak terlihat lagi.

Tuesday, 24 May 2016

Kasongan Yogyakarta, Surga Pemburu Gerabah

06:36:00

Menjelajah Yogyakarta, tentu saja banyak pengalaman yang kita dapatkan. Selain kaya dengan warisan sejarah dan budaya, kota pelajar ini juga kaya dengan kerajinan rakyat yang tumbuh subur seiring kedatangan wisatawan domestik maupun mancanegara. Salah satu kerajinan yang bertahan dan berkembang hingga sekarang adalah gerabah Kasongan. Kasongan terletak di Dukuh Kajen, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Jika kita berangkat dari Kota Yogyakarta, kita bisa mengambil arah selatan hingga menemukan perempatan Dongkelan antara Ring Road Selatan dan Jalan Bantul. Dari sini kita memilih jalan ke arah selatan melewati Jalan Bantul. Hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai di desa wisata Kasongan. Sebuah gerbang besar masuk desa wisata ini sudah menanti. Desa Kasongan adalah  wilayah pemukiman para kundi, buyung atau gundi yakni orang yang membuat buyung, kendi, kuali dan lain-lain yang termasuk barang dapur maupun barang hias.

Sejak tahun 1971, Desa Wisata Kasongan mengalami kemajuan cukup pesat setelah seniman Sapto Hudoyo membantu mengembangkan desa ini dengan membina masyarakat yang sebagian besar pengrajin gerabah. Bantuan itu berupa sentuhan seni sehingga gerabah Kasongan tidak monoton tapi punya nilai seni dan ekonomi yang tinggi. Gerabah Kasongan makin terkenal setelah dikomersilkan dalam skala besar oleh Sahid Keramik sekitar tahun 1980-an.


Kasongan merupakan sentra kerajinan paling terkenal di Bangunjiwo dan menjadi aset berharga Kabupaten Bantul. Bahkan nama Kasongan mungkin lebih terkenal dibanding nama Desanya, yaitu Bangunjiwo. Di sini kita dapat menemukan sentra kerajinan gerabah yang menghasilkan ribuan keramik dengan berbagai jenis, bentuk dan ukuran. Hingga kini, paling tidak tercatat 300 perajin aktif yang membuat gerabah dengan dukungan ribuan pekerja.

Memasuki Kasongan kita akan dihadapkan pada pemandangan barisan ruang pamer di kanan-kiri jalan yang dipadukan dengan workshop pengrajin. Jika tertarik kita bisa ikut langsung membuat keramik dengan panduan para perajin. Nama Kasongan makin populer karena setiap tahun telah diselenggarakan Festival Seni Kasongan. Festifal ini didominasi pameran produk unggulan yakni gerabah dari berbaai jenis dan motif.

Secara umum gerabah Kasongan banyak berbentuk guci, pot atau vas, dan produk keramik lain. Yang menarik, guci Kasongan sangat beragam, terutama fisnishing yang khas dan orisinal. Guci dengan sentuhan mewah, glamour dan bernuansa kontemporer mudah ditemukan. Guci jenis ini jauh meninggalkan kesan alami tapi tetap tampil menarik dan sedap dipandang mata. Yang tidak boleh ditinggalkan juga adalah guci berbentuk patung punokawan seperti Semar, Bagong hingga patung dua pengantin Jawa yang dikenal sebagai loro blonyo.


Menurut salah satu penduduk disana, barang-barang hasil kerajinan penduduk Desa Kasongan sebagian besar sudah merajai pasar Eropa dan Amerika. Sebagian lagi dipasok ke outlet-outlet yang berada di sekitar Desa Kasongan. Apalagi harga yang ditawarkan pun cukup bervariatif, tergantung dari ukuran dan jenis kesulitan proses pembuatannya. Barang termahal adalah kendi dengan ukuran besar dan patung berukuran satu banding satu. Pengunjung tidak perlu khawatir jika datang dari jauh karena pengelola juga sudah menyediakan jasa antar.

Desa Kasongan juga melayani wisatawan yang ingin belajar membuat gerabah. Tersedia berbagai paket belajar lengkap dengan pemandu. Kita juga bisa merasakan tinggal disini karena desa ini juga menyediakan paket homestay bagi para wisatawan. Tidak mengherankan jika banyak wisatawan asing maupun lokal yang silih berganti berdatangan ke desa wisata ini.

Sunday, 22 May 2016

Jalan Berliku 'Berburu' Ikan Pari Manta

21:41:00

Begitu perjalanan ke Sangalaki sudah dipastikan pada awal Mei, yang terbayang pertama di benak saya adalah Pari Manta. Satu dari empat pulau utama di Kepulauan Derawan ini memang identik dengan hewan yang tergolong dalam kelompok ovovivipar, hewan yang menetaskan telur di dalam tubuh induknya. Perairan Sangalaki adalah pusat Pari Manta dunia sehingga perjalanan ke Sangalaki adalah perjalanan untuk menonton tarian Pari Manta.

Saya tidak sabar melihat ikan pari yang berbeda dibanding ikan pari lain yang pernah saya temukan di perairan Madura hingga di pasar-pasar ikan. Selain tidak menyengat, Pari Manta termasuk jinak meski memiliki tubuh berukuran raksasa dengan bentangan sirip yang mencapai tujuh meter. “Semoga kita beruntung segera menemukan Pari Manta,” kata Anton Thedy, Managing Director TX Travel.

Hasrat melihat Pari Manta dari dekat membuat perjalanan dari Tarakan menuju Sangalaki serasa makin lama karena perasaan tidak sabar. Padahal, speedboat yang membawa kami sudah melaju dengan kecepatan 50 knot (sekitar 92 kilometer per jam). Waktu tempuh empat jam itu hampir mencapai titik akhir setelah 40 menit kami melewati Pulau Derawan. Sangalaki sudah terlihat di depan mata ketika hari menjelang senja. Mesin boat yang sedari tadi meraung-raung kini sudah jauh berkurang suara bisingnya lalu beralih haluan ke kiri menuju sisi utara Sangalaki.


Perlahan speedboat menyisir bagian utara pulau. Sesekali motoris boat memicingkan mata memandang sesuatu di kejauhan. “Biasanya Pari Manta mencari makan,” katanya. Area yang kami kelilingi adalah titik berkumpulnya Pari Manta atau yang dikenal dengan Manta Point. Sekitar 15 menit tanpa hasil kami memilih mendarat untuk meletakkan perbekalan di Sangalaki Resort dan melanjutkan aktifitas lain.

Sederet rencana sudah menunggu mulai berburu panorama matahari terbenam, melepas tukik, hingga menyaksikan penyu bertelur. Malam pertama di pulau yang sunyi di Sangalaki akan menjadi pengalaman yang kesekian buat saya pribadi. “Besok kita snorkeling sambil mencari Manta,” kata Johny Sudiyanto, pemilik Sangalaki Resort. Beberapa bagian di utara pulau ini menjadi titik penyelaman favorit melihat Pari Manta seperti Manta Run, Manta Parade, Manta Avenue, dan Ridge.

Tapi, tidak ada yang menjanjikan kalau setiap turun ke perairan Sangalaki pasti menemukan Pari Manta. Saya makin penasaran, seberapa susah mencari ikan bertubuh pipih berwarna hitam mengkilat ini. Benar saja. Sekitar 30 menit berputar-putar di area manta point, tidak satu pun Pari Manta yang muncul. Pak Jhony, Mas Bambang, dan beberapa official Sangalaki Resort yang sangat akrab dengan kehidupan perairan Sangalaki sudah berdiri di ujung speedboat sambil memandang jauh ke depan. “Mungkin nasib baik belum berpihak pada kita,” katanya.



Di tengah rasa frustasi, kami memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Pulau Kakaban untuk berenang bersama ubur-ubur di Danau Kakaban. Waktu tempuh antara dua pulau ini tak begitu lama: hanya 30 menit. Begitu mesin boat meraung, Pak Johny berteriak, “manta, manta.....” sambil menunjuk ke satu titik. Ya benar saja, seekor Pari Manta dengan bentang sirip 1,5 meter melintas lalu menghilang. Belum sempat kamera membidik, ikan itu sudah pergi. “Tenang, nanti kita dapat lagi,” kata Pak Johny. Pagi menjelang siang itu kami mendapat pelajaran berharga: jangan mudah putus harapan dan berjuanglah hingga ujung kesabaran.

Kehidupan laut seringkali penuh teka-teki dan berselimut misteri. Dalam perhitungan manusia, pagi itu seharusnya Pari Manta berkumpul di bagian utara perairan Sangalaki. Tapi, ikan pipih dengan sirip dada yang lebar ini punya perhitungan sendiri. Seperti juga kenapa Pari Manta seakan terbang di lautan, jawaban yang muncul cukup beragam. Ada yang menilai itulah cara Manta melarikan diri dari predator. Tapi, tidak sedikit yang yakin kalau si ikan sedang mengusir parasit dari tubuhnya. Versi lain menyebutkan bagian ujung sirip Manta muncul ke permukaan laut untuk menarik perhatian lawan jenis. Ujung sirip Pari Manta tak hanya berfungsi memikat lawan jenis.

Kami, wisatawan yang sedang mencari Manta juga terpikat ketika ujung sirip itu muncul di dekat speedboat. Dalam pencarian yang keempat pada pukul tiga sore ini, lima ekor Manta dalam berbagai ukuran berada dalam jarak yang begitu dekat dengan kami. Lima menit kemudian muncul Pari Manta dengan bentang sirip mencapai lima meter. Tak ingin kesempatan bagus menguap, kami memutuskan terjun ke laut agar lebih dekat dengan ikan yang termasuk kerabat hiu ini.

Ya, kami ingin menari dan berdansa bersama Pari Manta walau sekejap. Bagi kami, inilah pengalaman luar biasa berada di dekat Pari Manta yang sedang melahap plankton. Pari Manta berbeda dibanding ikan pari yang selama ini saya kenal. Nama manta sendiri berasal dari bahasa Spanyol yang berarti selimut. Dari 40 spesies pari di dunia, Pari Manta merupakan pari terbesar di dunia. “Saya pernah melihat yang lebih besar daripada yang kita temukan tadi,” kata Bang Roni, motoris speedboat yang menemani dan memandu kami mencari Manta.

Pantas dia tenang-tenang saja dan tersenyum kecil melihat tingkah kami saat menemukan Pari Manta. Rombongan Pari Manta yang mencapai 20-an ekor juga sudah sering dia temukan. Tapi, tidak jarang juga dia bernasib sama seperti kami: mencari ke sana-sini hingga ujung kesabaran habis. “Itulah kehidupan di laut. Makanya, kami tidak berani menjanjikan sesuatu yang pasti,” katanya.

Sebenarnya kami belum puas benar berdekatan dengan Pari Manta hanya beberapa saat karena ikan-ikan itu lebih cepat meninggalkan kami. Jika mengikuti hasrat, kami ingin mengejar Manta lebih jauh. Tapi, arus bawah laut yang semakin kencang membuat kami berpikir ulang. Toh, melihat dari dekat dan mencebur di dekat Manta meski sebentar sudah menjadi pengalaman yang mengesankan buat kami.

Saturday, 21 May 2016

Lembah Harau, Tempat Bidadari Pernah Turun ke Bumi

06:51:00
Tebing-tebing cadas setinggi 100 hingga 500 meter itu berdiri tegak laksana benteng pelindung bagi warga yang tinggal di sekitarnya. Warnanya coklat kemerahan dengan sejumlah tumbuhan menggantung di beberapa bagian tebing. Di antara tebing-tebing yang berdiri kokoh itu terdapat celah berupa daratan dengan hamparan sawah menghijau. Warna hijau padi ibarat permadani di tengah bentangan batu-batu cadas yang menjulang menantang langit. Inilah Lembah Harau, satu tempat eksotik untuk menikmati panorama alam di Kabupaten 50 Kota. Apalagi dasar lembah ini juga dihuni sejumlah jenis binatang dan burung liar yang menambah suasana alami. Saya tidak takjub begitu megah karunia Tuhan untuk daerah ini.

Berada di Taman Wisata Lembah Harau, saya serasa terkepung oleh benteng alam yang kokoh. Apalagi jika berada di dasar lembah tidak lama setelah hujan turun. Pelangi yang diyakini banyak orang sebagai selendang bidadari akan melintas membentung satu garis melengkung di sekitar lembah. Suasana ini makin menakjubkan jika kita berada di sekitar air terjun yang banyak terdapat di lembah ini. Paling tidak ada sekitar lima air terjun yang menarik untuk dikunjungi sebagai bagian dari cara menikmati Lembah Harau. Dari cerita yang beredar di tengah penduduk, serombongan bidadari berbusana putih pernah turun ke air terjun Sarasah Bunta di tahun 2008.

Selain Sarasah Bunta, air terjun lain yang cukup terkenal adalah Akar Berayun, Sarasah Murai, dan Air Terjun Sarasa Luluh. Kita bisa memilih mana yang kita suka untuk dinikmati. Air Terjun Aka Berayun terletak di kawasan Aka Barayun yang cocok untuk wisata keluarga. Di sini sudah tersedia kolam renang dan bagian tebing-tebingnya menarik untuk olahraga panjat tebing. Empat air terjun lain yang berada di kawasan Sarasah Bunta juga tidak kalah menarik untuk didatangi. Kawasan ini paling dikenal memiliki nilai historis dan hal-hal yang penuh mitos. Tidak sedikit yang meyakini masing-masing air terjun memiliki khasiat.



Daya tarik Lembah Harau bukan sekadar air terjun yang menawarkan pesona berbeda. Tebing batu itu diperkirakan sudah berusia 30-40 juta tahun. Tebing curam ini sering dibandingkan dengan Grand Canyon di Amerika. Namun, Harau juga disebut sebagai Lembah Yosemite di Indonesia karena memiliki keindahan seperti Taman Nasional Yosemite di Sierra Nevada, California, Amerika Serikat yang sudah tersohor ke seluruh dunia. Tapi, jika dirunut sesuai dengan legenda dan dongeng-dongeng yang menyelimutinya, Lembah Harau lebih mengasyikan untuk dijajaki lebih jauh.

Nama Harau punya cerita sendiri. Dalam bahasa warga lokal, Harau berarti ‘parau’ atau bersuara serak. Dulu, penduduk yang tinggal di atas Bukit Jambu sering menghadapi banjir dan longsor sehingga memicu kepanikan. Mereka sering berteriak-teriak histeris sehingga lama-lama suara mereka menjadi parau. Suara parau menjadi ciri khas penduduk setempat yang awalnya disebut ‘orau’ lalu berubah menjadi arau hingga bersalin ucapan menjadi ‘harau’. Kita bisa saja mencoba berteriak di lembah ini untuk mengukur seberapa jauh suara kita bisa didengar oleh orang lain. Teriakan kita akan menimbulka efek suara (echo) menggema dan memantul.

Tapi, Lembah Harau juga punya cerita lain yang terkait dengan legenda Puti Sari Banilai. Di masa lalu berlayarlah Maulana Kari, Raja Hindustan bersama permaisuri Sari Banun untuk merayakan pertunangan anaknya Sari Banilai dengan Bujang Juaro. Sebelum berlayar, dua anak manusia ini bersumpah jika Sari Banilai mengingkari janji pertunangan, dia disumpah menjadi batu. Sebaliknya jika Bujang Juaro yang ingkar janji, maka dia disumpah mejnadi ular naga. Kapal yang membawa Maulana Kari, Sari Banun, dan Sari Banilai terbawa arus dan terjepit di antara dua bukit besar. Agar tidak hanyut, Maulana Kari menambatkan sebuah batu yang kelak dikenal dengan Batu Tambatan Kapal.

Kapal layar ini selamat. Rajo Darah Putiah yang berkuasa di kawasan Lembaha Harau waktu itu mengizinkan keluarga Maulana Kari menetap. Raja Hindustan ini sudah pasrah tidak mungkin kembali ke negerinya. Karena itu mengetahui sumpah putrinya, dia berinisiatif menikahkan Sari Banilai dengan Rambun Pade, pemuda Harau. Dari pernikahan ini lahirlan seorang anak yang sangat disayang oleh Maulana Kari dan Sari Banun. Suatu hari, mainan si anak jatuh ke dalam laut dan dia memanggil ibunya untuk mengambil mainan. Sari Banilai melompat ke laut untuk mengambil dan dia terhanyut karena ombak sedang besar. Sari Banilai terseret hingga terjepit di antara dua batu besar lalu berdoa agar air segera surut.

Sari Banilai yang teringat sumpahnya khawatir dia bakal dikutuk menjadi batu. Sambil berdoa kepada Tuhan, dia minta dibawakan perlengkapan rumah tangga dan diletakkan di saping batu yang menjepitnya. Lambat laun kaki Sari Banilai membeku dan menjadi batu. Begitu pun bagian tubuh yang lain. Batu yang berbentuk seorang ibu sedang menggenok anak di salah satu bagian di Lembah Harau itu diyakini sebagai Sari Banilai yang termakan sumpahnya. Cerita yang masih hidup di tengah masyarakat Lembah Harau itu dikenal sebagai Randai Sari Banilai itu kemudian menjadi salah satu kesenian tradisional masyarakat Lembah Harau.

Thursday, 19 May 2016

Selain Warna dan Motif, Ini Keistimewaan Lain Batik Gentongan Madura

19:43:00
Pelesiran ke Madura tidak afdol rasanya jika tidak membawa oleh-oleh khas pulau garam ini. Salah satu yang bisa dijadikan kenang-kenangan adalah batik Madura yang tersohor karena corak dan warnanya yang berbeda dibanding motif batik daerah lain. Apalagi tidak sulit menemukan sentra pembuatan batik dari ujung barat hingga ujung timur pulau dengan penduduk 3,6 juta jiwa ini. Ya, sentra batik Madura tersebar dari Bangkalan, kabupaten di ujung barat hingga Sumenep di ujung timur.

Di Bangkalan, sentra kerajinan batik ada di Desa Tanjung Bumi. Sedangkan di Pamekasan ada Desa Klampar yang jadi pusat kerajinan batik. Selain itu, ada Pasar 17 Agustus Pamekasan jika tidak tertarik datang ke sentra kerajinan. Di Sumenep, ada Desa Pragaan dan Pakandangan Barat yang tersohor sebagai desa produsen batik. “Mayoritas penduduk Pakandangan Barat merupakan perajin batik,” kata Taufan Febriyanto, pemilik Sentra Batik Tulis Al-Barokah. Sekitar 60 persen pembatik di desa ini menjual kreasinya kepada Taufan.

Bagi penduduk Pakandangan Barat, membatik bukan sekadar mencari nafkah, tapi menjaga dan merawat tradisi warisan nenek moyang mereka. “Karena itu, tidak ada yang mau membuat batik cap,” katanya. Taufan memiliki 63 orang mitra pembatik. Begitu juga Acmad Zaini, pemilik Sentra Batik Tulis Melati yang memiliki 41 mitra pembatik. Harga batik beragam mulai puluhan juta rupiah hingga ratusan juta rupiah per lembar. Tapi, ada satu batik yang harganya mencapai jutaan rupiah. Batik Gentongan namanya yang hanya ditemukan di Tanjung Bumi, Bangkalan.


Motif batik Madura dengan ciri khas adanya warna merah pada motif bunga, tangkai atau daun tidak lepas dari sejarah Madura itu sendiri. Motif ini dianggap punya kemiripan dengan batik Yogyakarta. Untuk melihat kedekatan motif ini bisa dilacak dari akar sejarah batik Madura yang pertama kali dikenalkan oleh Adipati Sumenep, Arya Wiraraja pada abad ke-15. Arya Wiraraja merupakan teman dekat Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.

Kedekatan motif batik Madura dan Yogyakarta ini juga karena kedekatan hubungan raja-raja Mataram dengan bangsawan kerajaan di Madura. Misalnya, Kerajaan Bangkalan pada zaman Raja Cakraningrat I merupakan bawaan Kesultanan Mataram yang dipimpin Sultan Agung. Jadi, ada hubungan historis tentang kedekatan motif-motif batik Madura dan Yogyakarta. Meskipun demikian, motif batik Madura lebih ekspresif dalam warna dan corak. Bahkan pada beberapa motif cenderung lebih berani dalam ekplorasi warna.

Batik Madura memang memiliki daya pikat tersendiri, antara lain pada pewarnaannya yang tajam atau lebih dikenal dengan istilah ngejreng. Dalam selembar kain, misalnya, bisa muncul warna yang kontras, yang tidak mungkin ditemukan pada kain batik pedalaman ataupun pesisiran di Jawa. "Batik Madura sangat ekspresif ketimbang batik Jawa pada umumnya. Teknik coletan lebih banyak digunakan di Madura. Itu ekspresif. Kalau tampak kasar atau tidak rapi, itulah karakter batik Madura. Tapi, jangan dianggap batik murahan," kata Ketua Komunitas Batik Surabaya Lintu Tulistyantoro.

Batik Madura juga menggambarkan kebebasan masyarakat berekspresi dengan ciri pesisiran yang tampak pada motif unsur laut seperti sisik ikan, kerang, atau sulur rumput laut. Salah satu batik legendaris Madura ya tidak lain adalah batik gentongan. Batik ini hanya dibuat di daerah Tanjung Bumi, Bangkalan. Yang paling istimewa dari batik ini warnanya makin lama makin cerah dan harganya paling mahal di Madura. Motifnya lebih banyak klasik seperti carcena, sisik malaya, sisik amparan atau sekoh. Satu lembar batik gentongan paling murah Rp 5 juta. Meski harganya mahal, tapi kualitas batik gentongan memang cocok dengan harganya.

Thursday, 14 April 2016

Makan Pagi Bersama Lumba-lumba

13:59:00
Matahari masih tertutup awan tipis di ujung timur ketika dua kapal motor seukuran 4 x 25 meter itu bergerak perlahan meninggalkan dermaga Patuno Resort di Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Semilir angin dari arah barat membuat laju kapal yang berlayar ke arah timur ini berjalan tenang dan terasa lebih cepat. Begitu kapal menjauh dua mil dari titik pemberangkatan, matahari muncul seakan mengucapkan selamat menikmati perairan Wakatobi. Ya, kami sengaja bangun lebih pagi karena ingin menikmati sesuatu yang lain di nirwana wisata Indonesia ini. Sejak semalam, kami sepakat sarapan pagi besok dilakukan di atas kapal sambil menikmati atraksi lumba-lumba pada November tahun lalu.

Sambil berdoa cuaca tetap cerah dan ombak tidak terlalu besar, kami juga berdoa lumba-lumba itu benar-benar muncul. Biasanya mamalia ini gampang ditemukan di sisi timur pulau, tepatnya di antara Wangi-wangi dan pulau Kapota. Jarak dua pulau ini hanya 15 menit berperahu motor. Tapi, hari itu nakhoda kapal memutuskan melalui sisi utara untuk mengantisipasi kemungkinan lumba-lumba tidak lagi di tempat biasanya. Akibatnya, jarak yang kami tempuh jadi lebih jauh. “Kita tidak tahu pasti di mana posisi lumba-lumba hari ini,” katanya. Karena itu, meski sudah satu jam di atas kapal, lokasi lumba-lumba belum juga ditemukan. Yang kami temukan justru nelayan-nelayan dengan perahu kecil sedang mencari ikan cakalang dan tuna memakai pancing layang-layang.

Jumlah nelayan semakin banyak ketika kapal beralih haluan mendekati perairan Kapota. “Tidak lama lagi kita dapat,” katanya. Mata nakhoda ini semakin awas menatap. “Nah, itu dia,” katanya sambil menunjuk sisi kanan kapal dan menarik tuas gas untuk menambah kecepatan. Dari jarak sekitar satu mil, tampak sesuatu berkilauan muncul dan tenggelam. Semakin dekat semakin jelas kalau itu lumba-lumba. Jumlahnya bukan hanya satu atau dua, tapi belasan di setiap kelompok. Pagi itu, setidaknya ada lima kelompok lumba-lumba yang muncul tenggelam di titik berbeda. Jarak antara kelompok ini sekitar 500 meter dan bergerak ke arah berlainan. “Luar biasa. Baru sekarang saya bisa menikmati lumba-lumba dalam jumlah banyak,” kata Anton Thedy, Founder TX Travel yang memimpin 30 orang rombongan wisata domestik Indonesia ke Wakatobi ini.


Menikmati atraksi lumba-lumba memang belum menjadi jualan utama wisata Wakatobi karena kawasan ini lebih dikenal dengan keindahan bawah lautnya. Wakatobi terletak di Coral Triangle atau segitiga terumbu karang dunia seperti Bunaken dan Raja Ampat. Ia ibarat sepetak istana karang milik Indonesia. Ada 750 dari 900 spesies karang dunia terdapat di taman nasional ini. Kawasan ini juga dihuni oleh 3.000 spesies ikan atau lebih dari separuh spesies ikan di dunia. Tidak heran jika Wakatobi identik dengan wisata bawah laut seperti menyelam dan snorkeling. Padahal, wisata atas lautnya tidak kalah menarik. Selain panorama sunset dan sunrise yang menakjubkan, menonton atraksi lumba-lumba seperti yang kami lakukan tidak kalah menarik juga. Karena itu, kami bersyukur bertemu dengan rombongan besar lumba-lumba meski harus bersusah payah lebih dulu.

Dua kapal yang membawa kami berpencar mengikuti kelompok lumba-lumba. Entah berapa kali kapal ini harus berputar haluan mengikuti ke mana mamalia itu bergerak dan muncul. Sesekali kami terkecoh karena mengejar mereka ke arah barat, tiba-tiba belasan lumba-lumba muncul di belakang kapal kami. Mereka seperti mengawal kapal yang tidak berhenti belok kiri dan kanan ini. Empat ekor lumba-lumba berenang di sisi kiri dan kanan kapal. Satu ekor yang cukup besar, kira-kira panjangnya dua meter, muncul dan tenggelam di depan ujung kapal. Suasana kapal jadi riuh karena semua orang sibuk mengarahkan kamera ke lumba-lumba. Atraksi ini mengingatkan kami pada pengalaman serupa di Teluk Kiluan, Lampung dan Pantai Lovina, Bali. Tapi, lumba-lumba memiliki arti khusus bagi masyarakat Wakatobi, terutama suku Bajo. Wakatobi dan Bajo tak bisa dipisahkan karena di sinilah komunitas suku Bajo terbesar di dunia berada.

Pemukiman terbesar suku Bajo di Wakatobi terdapat di Mola Raya yang tersebar di Mola Bahari, Mola Utara, Mola Samaturu, Mola Selatan, dan Mola Nelayan Bhakti. Kawasan berjarak 26 kilo meter dari Bandara Matahora, Wakatobi ini dihuni 16 ribu warga Bajo. Sebagai pengembara laut, mencari ikan adalah pencaharian utama mereka. Untuk mencari ikan, mereka menjadikan lumba-lumba sebagai petunjuk. “Suku Bajo menyebut lumba-lumba dengan Lummu,” kata Iwan Khatib, Dive Master Patuno Resort. Jika Lummu Pakorek (Delphinus delphis) atau lumba-lumba biasa yang muncul, maka jadi pertanda baik dan hasil tangkapan biasanya bagus. Jika lumba-lumba gigi kasar (Stenno bredanensis) yang menggigit kail pancing, hasil tangkapan biasanya kurang baik. Tapi, kalau Lummu Mapote atau lumba-lumba risso (Grampus griseus) muncul, mereka langsung pulang karena itu tanda bakal terjadi bencana.

Kami beruntung karena lumba-lumba yang muncul pagi itu adalah Lummu Pakorek. Karena itu, nelayan yang mencari ikan cukup banyak di antara Wangi-wangi dan Kapota. Mereka tenang dan tidak merasa terganggu dengan kehadiran lumba-lumba. Meski jenis ikan yang mereka pancing sama dengan ikan yang dimakan mamalia itu, mereka tidak merasa bersaing. Mereka memilih hidup berdampingan tanpa harus saling mengalahkan. Nelayan-nelayan ini melaut selepas shalat subuh. Jumlah ikan yang dipancing tidak pernah berlebihan karena mereka tidak ingin ikan habis akibat terlalu banyak diambil. Setelah ikan yang dipancing dirasa cukup untuk dimakan maupun dijual, mereka bergegas pulang. “Ikan yang mereka pancing itu yang jadi menu sarapan kita pagi ini,” kata Anton Thedy sambil membuka kotak nasi. Kapal berhenti sejenak di tengah laut karena kami harus sarapan. Tapi, belasan lumba-lumba itu masih saja menggoda kami dengan muncul dan tenggelan di sisi kiri dan kanan kapal.