Sunday, 20 March 2016

Kebo-keboan, Ritual Mistis Penolak Bala


Beberapa lelaki dengan hiasan tanduk kerbau di kepala tampak berkubang di sawah yang baru saja dibajak. Tingkah mereka mirip dengan kerbau yang sedang mendinginkan badan setelah terkena sengatan matahari. Satu persatu bangkit, bergerak, dan berjalan seperti sedang membajak sawah. Tak lama kemudian kaum lelaki dengan hiasan tanduk kerbau di kepala kesurupan karena tingkah lakunya yang tidak biasa. Mereka bertingkah polah seperti kerbau.

Satu persatu warga Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi turun ke sawah yang baru dibajak ini. Mereka menanam benih padi di beberapa lokasi yang telah dipilih. Begitu benih tenggelam dalam lumpur, sejumlah warga lain datang dan turun ke sawah untuk berebut benih yang ditanam tadi. Benih yang didapatkan bakal ditanam di sawah milik mereka dengan harapan hasil panen melimpah.

Keriuhan di sawah ini merupakan salah satu fase dalam ritual Kebo-keboan yang hanya ditemui di Dusun Krajan. Ritual memohon pertolongan Tuhan dengan memberi hasil panen melimpah dan dijauhkan dari bala. Ritual tahunan ini biasanya dilakukan sekali dalam satu tahun di antara tanggal 1-10 Suro (Muharram) tanpa melihat hari pasaran. Tanggal yang dipilih biasanya tepat di hari Ahad dengan harapan warga Krajan yang menjadi pegawai turut menjalani ritual ini.

Seminggu sebelum Kebo-keboan dilaksanakan, warga Dusun Krajan menggelar gotong-royong membersihkan rumah dan lingkungan mereka. Seharu menjelang upacara, kaum ibu menyiapkan sesajen yang terdiri dari tumpeng, beras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang (dodol), inkung ayam dan lain-lain. Selain itu, disiapkan juga perlengkapan upacara antara lain bungkil, singkal, cangkul, beras, pisang, kelapa dan bibit padi yang ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.




Pada malam hari, para pemuda beramai-ramai menyiapkan beragam hasil bumi seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, dan lain-lain untuk ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun pada esok harinya. Tidak lupa satu bendurangan kecil disiapkan untuk mengairi tanaman palawia yang akan ditanam. “Urut-urutan dan bahan yang disiapkan sesuai dengan yang diajarkan pendahulu kita,” kata Subur Bahri, sesepuh dan tetua adat Dusun Krajan.

Upacara baru dimulai esok hari yang dipimpin sesepuh desa yang dilanjutkan dengan makan bersama. “Tamu yang datang dari luar dipersilakan makan bersama,” katanya. Setelah makan usai, seluruh peserta upacara, termasuk lelaki yang berdandan layaknya kerbau melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Ketika rombongan ini tiba di persawahan yang ditentukan, perilaku lelaki berhias tanduk kerbau mulai memperlihatkan perilaku menyerupai kerbau.

Seperti ritual adat di tempat lain, tidak jelas benar sejak kapan dan siapa yang memulai ritual Kebo-keboan ini. Tapi, warga Dusun Krajan yakin tradisi ini memiliki pijakan kuat yang berasal dari kejadian masa lalu. Konon, pada suatu masa Dusun Krajan mengalami pagebluk atau gagal panen karena serangan hama yang membuat tanaman padi dan palawija mati. Berbagai upaya dilakukan untuk mengusir serangan hama ini tapi selalu gagal. Saat itu sekitar abad ke-18.

Seorang tetua Dusun, Buyut Karti namanya, berinisiatif menirukan perilaku kerbau di sawah dengan harapan bisa mengusir hama penyakit. Ajaib, ulah Mbah Karti membuat Dusun Krajan bebas dari serangan hama dan tanaman tumbuh subur kembali. Sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan ini, warga memperingati peristiwa tersebut dengan menggelar ritual Kebo-keboan pada pekan pertama bulan Suro, bulan yang dianggal keramat oleh masyarakat Jawa. “Ritual ini memiliki banyak makna,” kata M. Syafrin, salah satu keturunan Buyut Karti. Selain memperkuat hubungan vertival, juga mengokohkan hubungan antarwarga Krajan.

Ritual Kebo-keboan sempat mati suri, bahkan tidak bisa diselenggarakan setelah peristiwa Pemberontakan G30/PKI tahun 1965. Pemerintah Orde Baru melarang ritual ini hingga beberapa tahun lamanya. “Akibatnya banyak warga yang kesurupan,” katanya. Melihat dampak yang ditimbulkan, ritual ini akhirnya dijalankan secara sederhana karena banyak peraturan yang tidak memungkinkan acara ini diadakan secara kolosal. “Tapi, sejak tahun 1970 tradisi Kebo-keboan rutin dilaksanakan,” katanya.

Dalam ritual ini, kerbau yang diperankan oleh manusia melambangkan hubungan kemitraan yang kuat antara petani dengan kerbau harus dipertahankan. Hubungan ini, terutama untuk menggarap sawah. Selain menggunakan hiasan tanduk kerbau, lelaki yang memerankan kerbau ini seluruh badannya dihiasai dengan coretan hitam sebagai simbol kerbau adalah salah satu binatang kuat dan menjadi tumpuan mata pencaharian penduduk Alasmalang yang mayoritas sebagai petani. “Ada makna filosofis di balik symbol-simbol ini,” katanya.

No comments:

Post a Comment