Istana tiga lantai yang berdiri tegak di atas 72 buah tonggak dengan hiasan 11 gonjong di bagian atap itu seperti menutupi sepenggal bukit di bagian belakangnya. Kemegahan istana itu semakin terlihat jelas karena halamannya yang luas berlapis bebatuan kali sebesar kepala kambing dengan warna abu-abu. Bila matahari sedang terik di siang hari, Istano Basa Pagaruyung itu tak ubahnya benteng yang melindungi masyarakat di sekitarnya. Dibandingkan puluhan istana lain yang telah saya kunjungi di Jawa, Kalimantan, Bali, dan daerah lain, Istano Basa Pagaruyung menawarkan sensasi yang tak kalah mengasyikkan.
Istana yang berada di Tanjung Emas, Batusangkar ini memang bukan istana asli tapi replika yang dibangun pertama kali tahun 1976. Pada tahun 1804 istana ini dibakar Belanda lalu dibangun dan terbakar lagi tahun 1966. Pada tahun 2007, sekali lagi kebakaran melanda akibat sambaran petir. Seperti kisah pasang surut kerajaan, istana ini kembali dibangun dan diresmikan tahun 2013. Selain hangus terbakar, seturut kisahnya, lokasi istana sekarang adalah lokasi terakhir setelah berpindah dari satu tempat ke tempat lain berkali-kali. Semula lokasi istana berada di Ateh Bukik dan Batu Patah lalu pindah lagi ke Sungai Bunggo, Jorong Gadam. Tapi, inilah istana yang menyimpan segudang sejarah perjalanan adat dan budaya Minangkabau.
Istano Basa Pagaruyung memainkan peran ganda sebagai pusat Kerajaan Minangkabau sekaligus kediaman keluarga kerajaan. Penguasan kerajaan dikenal sebagai Rajo Alam atau Raja Diraja Kerajaan Minangkabau. Karena itu, nama istana memakai kata baso (besar/agung dalam bahasa setempat). Sesuai perannya, bagian dalam istana ini terdiri dari beberapa bagian. Di lantai satu ada Pelaminan Bundo Kanduang (Singgasana) yang dilingkari tirai menjuntai. Dari singgasana inilah Bundo Kanduang bisa melihat siapa tamu yang datang jika ada rapat sekaligus mengatur segala sesuatu di atas rumah. Lalu ada bilik tempat putra-putri raja yang telah menikah. Di bagian lain ada pula tempat musyawarah, tempat pusaka hingga tempat mandi keluarga kerajaan.
Bagi masyarakat Minangkabau, Istano Basa Pagaruyung bukan sekadar simbol sebuah kerajaan di masa silam. Selain menjadi simbol budaya, istana ini juga menjadi bagian penyebaran Islam bagi daerah-daerah yang dihuni etnis Minangkabau. Kerajaan Pagaruyung sendiri didirikan oleh Adityawarman, anak panglima perang Kerajaan Sriwijaya, Mahesa Anabrang dengan Dara Jingga, putri dari Kerajaan Dharmasraya pada tahun 1347. Dalam beberapa versi, Adityawarman dibesarkan dan dididik di Kerajaan Majapahit hingga pernah bahu-membahu dengan Mahapatih Gajah Mada dalam menaklukkan Bali dan Palembang. Dia kembali ke Sumatera sebagai utusan Majapahit untuk bertahta sebagai raja bawahan Majapahit di Sumatera.
Semasa Adityawarman dan anaknya, Ananggawarman berkuasa, pengaruh Hindu sangat kuat di Kerajaan Pagaruyung ini. Tapi, pengaruh Hindu mulai terkikis setelah musafir dan guru agama yang singgah dari Aceh dan Malaka menyebarkan agama Islam. Syeikh Burhanuddin Ulakan, murid ulama Aceh terkenal Syeikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala) diyakini sebagai ulama pertama yang menyebarkan Islam di Pagaruyung pada abad ke-16. Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi Kesultanan Islam di abad ke-17. Perubahan ini mendorong terjadinya penyesuaian adat yang harus dilandasi ajaran Islam yang kemudian dikenal dengan istilah ada basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Sejak itu istilah-istilah yang bernuansa Islam seperti kadi, imam, khatib, kaum mulai digunakan, termasuk nama Sumpur Kudus.
Dari Kerajaan Pagaruyung pula konon nama Minangkabau bermula. Kerajaan negeri seberang membawa kerbau berbadan besar untuk diadu dengan kerbau milik Kerajaan Pagaruyung yang bertubuh kecil karena masih anakan. Untuk memenangi aduan, punggawa Kerajaan Pagaruyung punya strategi jitu. Anak kerbau dikurung dan dijauhkan dari induknya selama beberapa hari sehingga tidak bisa menyusu. Pada saat hari pertandingan, tanduk anak kerbau itu dipasangi minang, semacam besi tajam dan runcing yang didesain mirip dengan tanduk kerbau. Begitu hari anak kerbau ini dilepas di hari pertandingan, dia lari sekencang mungkin mengejar kerbau besar yang dikira induknya agar bisa menyusu.
Rupanya tanduk yang sudah dilapisi besi tajam dan runcing itu melukai perut kerbau lawan hingga isi perutnya terburai. Kemenangan dalam adu kerbau diraih Kerajaan Pagaruyung. Dari sini istilah Minangkabau yang diambil dari kata menang dalam aduan kerbau berasal.
Misteri tentang siapa sesungguhnya Bundo Kanduang akhrnya terkuak juga...
ReplyDeleteSurau berasal dari phonetic spelling kata Ibrani “sawraw” yang mengacu pada Sarah, istri Nabi Ibrahim AS atau ibu dari Nabi Ishak AS.
Oleh karena itu, dari segi studi linguistik dapat disimpulkan bahwa kata surau lazim digunakan oleh keturunan Bani Ishak, paman moyang bangsa Arab.
Al Quran menyebutkan Nabi Ibrahim memiliki dua orang istri yakni Siti Sarah yang melahirkan Nabi Ishak AS dan Siti Hajar yang melahirkan Nabi Ismail AS.
Baca selanjutnya: http://www.surau.net/wp/definisi-surau/