Wednesday, 16 March 2016

Desa Ini Melarang Kaum Lelaki Berpoligami


Terletak di pinggir jalan beraspal yang mulus, Desa Sasak Sade ibarat sebuah perkeculian karena tetap mempertahankan kehidupan tradisionalnya. Rumah-rumah beratap ijuk dengan tiang-tiang penyangga dari bambu dan kayu menambah kuat kesan tradisional pada rumah masyarakat asli Lombok, Nusa Tenggara Barat ini. Ya, inilah Desa Sasak Sade yang dihuni masyarakat Sasak dengan segala kehidupan tradisionalnya. Aspal mulus yang membentang di jalan desa ternyata tidak menghalangi mereka untuk bertahan dalam kebersahajaan dan ketradisionalan.

Di desa dengan penduduk susu Sasak asli ini, kita dapat menemukan ketenangan suasananya, ketenangan warganya, dan kesetiaan para lelaki terhadap isterinya. Beristeri lebih dari satu alias poligami menjadi sesuatu yang tabu. Padahal tidak ada aturan tertulis yang melarang pernikahan seorang lelaki dengan lebih dari satu perempuan. Tradisi hidup dengan satu isteri ini berlangsung turun-temurun dan bertahan hingga masa kini. “Banyak yang mengatakan desa ini adalah desa para lelaki setia,” kata Ame Kurnia, sesepuh Suku Sasak yang menjadi kepala dusun Sade.

Praktek poligami akhirnya menjadi pantangan bagi lelaki Sade. Meskipun tidak ada ketentuan sanksi adat yang diberikan kepada pelaku poligami, tapi masyarakat Sasak Sade sudah sepakat bahwa lelaki yang memiliki lebih dari satu isteri dikucilkan dari kehidupan warga. Pengucilan ini menjadi sanksi tidak tertulis yang sangat berat karena esensi kehidupan masyarakat Sasak Sade adalah kebersamaan dalam kebersahajaan. Lelaki yang dikucilkan masyarakat dianggap lelaki kotor yang tidak ada harganya. Sanksi ini paling ditakui hingga sekarang.




Sanksi pengucilan ini membuat tradisi hidup dengan satu isteri bisa dipertahankan secara turun temurun bersama pantangan menikah di musim hujan. Jika ada yang nekat menikah di musim hujan, hal itu dianggap sebagai pertanda buruk bagi mempelai wanita. Konon, menikah di musim hujan merupakan pertanda si perempuan pernah melakukan hubungan suami isteri di luar nikah. Jika masih ada yang nekat atau kepepet, ada sanksi yang harus dibayar yakni membayar denda 24 kepeng atau setara Rp 240 ribu kepada desa.

Seperti halnya tradisi di daerah lain, urusan pernikahan memang menjadi perhatian penting bagi warga Sasak Sade. Selain larangan berpoligami, nikah di musim hujan, pernikahan di siang hari juga sama-sama tidak diperkenankan. Sanksi bagi pelanggaran waktu pernikahan ini memang tidak seberat sanksi pelanggaran yang lain. “Sanksinya berupa denda,” katanya.

Dalam urusan pernikahan, masyarakat Sasak Sade hanya mengenal pernikahan dengan sesama Suku Sasak, baik yang berasal dari Desa Sade maupun desa-desa yang lain. Namun, ketentuan perempuan Sasak harus menikah dengan lelaki Sasak mulai dibolehkan dengan beberapa syarat, salah satunya si lelaki harus beragam Islam. Jika syarat ini tidak dipenuhi, pasangan pengantin ini harus keluar dari Desa Sasak Sade atau dijatuhi sanksi dibuang dari desa.

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, masyarakat Sade memegang teguh norma bedende atau teu dose. Pelanggaran terhadap norma ini dikenai sanksi dikucilkan atau dibuang selama sepuluh tahun dari desa. Pelanggar dibolehkan kembali ke desa setelah sepuluh tahun masa pembuangan. Norma kedua adalah teu gorok yakni norma paling berat sanksinya karena berupa hukuman mati. Sanksi ini biasanya diberikan bagi yang berselingkuh dengan isteri orang lain.

Masyarakat Sasak Sade memang ketat menerapkan syarat agama untuk pernikahan bagi lelaki dari luar desa. Hal ini tidak lepas dari ajaran Islam yang dianutnya. Meski demikian, masyarakat Sasak secara umum menjalani kepercayaan Wektu Telu yaitu kepercayaan Islam yang memiliki unsur-unsur Hindu, Buddha, dan kepercayaan tradisional kuno lainnya. Dengan keyakinan ini, mereka tetap melaksanakan salat wajib lima waktu maupun puasa bulan Ramadhan. Saat ini, mayoritas penduduk Lombok merupakan Suku Sasak.

Suku Sasak dikenal dengan keyakinan Wektu Telu yaitu kepercayaan Islam yang mengandung unsur-unsur Hindu, Buddha, dan kepercayaan tradisional kuno lainnya. Meski demikian, mereka menyatakan beragama Islam dan tetap melaksanakan salat wajib lima waktu dan ajaran Islam yang lain. Di sisi lain ada juga kelompok warga Sasak yang memeluk Bodha yaitu kepercayaan animisme dan Buddhisme. Dua kelompok agama ini hidup harmonis bermasyarakat.

Desa Sasak Sade yang terletak di Kecamatan Rembitan, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat kini dihuni sekitar 152 keluarga yang menempati 152 rumah adat di areal seluas kurang lebih 6 hektar. Sesuai peraturan desa, warga tidak boleh membangun pemukiman baru lagi di Desa Sade dan tetap mempertahankan rumah-rumah tradisional berdinding anyaman bambu, beratap ijuk, dan beralas tanah. Sebagian besar warga Desa Sade hidup sebagai petani, pengarajin tenun ikat khas Lombok dan perajin cinderamata.

Desa Sade mudah dijangkau oleh kendaraan pribadi maupun umum karena lokasinya berada di pinggir jalan raya. Dari Bandara Internasional Lombok, desa ini bisa ditempuh dalam waktu 30 menit. Jika menggunakan angkutan umum, lokasi ini bisa ditempuh dari Terminal Bertais di Cakranegara dengan memilih angkutan jurusan Terminal Praya dengan biaya Rp 10.000. Dari Terminal Praya ada angkutan yang mengantar anda menuju Rembitan dan kita bisa langsung turun di Desa Sade dengan ongkos Rp 10.000.

No comments:

Post a Comment