Monday 21 March 2016

Penglipuran, Miniatur Desa Kuno Pulau Dewata


Rumah-rumah yang terbuat dari batu bata dan anyaman bambu itu berbaris rapi mengikuti kontur jalan utama desa yang tertutup bebatuan dengan hamparan rumput di bagian kiri dan kanannya. Tak ada kendaraan bermotor, terutama roda empat, yang melintas di jalanan itu. Satu dua orang tengah melintasi jalan. Sebagian yang lain tampak duduk-duduk santai di depan gapura rumah. Suasana begitu hening, tanpa keriuhan. Hawa pun makin sejuk saat semilir angina menggoyang rerimbunan pohon bambu yang menjadi pagar pembatas desa.

Ya, inilah Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli, Bali. Dari pusat kota Denpasar, desa yang asri ini dapat dicapai dengan perjalanan selama kurang lebih dua jam melalui Kota Gianyar menuju arah utara. Dari Gianyar ke arah Bangli, Penglipuran berada di sisi kiri jalan. Memasuki kawasan desa ini seperti sedang memasuki taman yang dirancang dengan cita rasa tinggi. Keseragaman pintu gerbang dan rumah warga adalah pemandangan pertama yang kita temukan. Pintu gerbang itu hanya untuk masuk satu orang dewasa. Bagian atas pintu menyatu dengan atap gerbang yang terbuat dari bambu.

Keasrian desa ini tidak lepas dari keteguhan masyarakat memegang adat. Dengan luas desa 112 hektar, 37 hektar di antaranya merupakan hutan bambu yang bisa dimanfaatkan warga untuk kerajinan tangan. “Hutan bambu ini pakai sistem tebang pilih,” kata Wayan Supat, Bendesa Adat Desa Penglipuran. Sedangkan ladang membentang 49 hektar dan untuk pemukiman penduduk hanya tersedia 12 hektar. Tidak mengherankan jika suasana desa ini begitu asri, sejuk dan nyaris tanpa kebisingan.

Keteguhan warga Penglipuran memegang teguh adat sudah berlangsung turun-temurun. Karena itu, Penglipuran dikenal sebagai salah satu desa tradisional atau desa kuno di Bali yang disebut Bali Aga atau Bali Mula. Salah satu adat yang dipegang kuat adalah konsep penataan rumah dan pekarangan rumah yang mengikuti ketentuan Asta Kosala-Kosali, Asta Bumi, Sikut Karang, dan berbagai ketentuan tertulis maupun yang tidak tertulis lainnya. Inilah salah satu keunggulan Desa Penglipuran sebagai desa adat.




Menurut Wayan, penataan rumah dan pekarangan ini tidak lepas dari konsepsi Hindu tentang Desa Kalapatra yakni keadaan desa yang disesuaikan dengan tempat dan waktu dengan tujuan menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, serta manusia dengan Tuhan. Karena itu, tata ruangnya menganut konsep tata ruang Tri Mandala di mana rumah terletak dari utara ke selatan. Tempat yang paling tinggi di bagian utama terdapat Pura Penataran dan Pura Desa.

Satu hal yang tidak bisa kita temukan sepanjang Desa Penglipuran adalah tidak ada jemuran di depan rumah. “Ada aturan yang disepakati kita tidak boleh menjemur pakaian di depan rumah,” katanya. Aturan adat ini membuat pemandangan Desa Penglipuran asri dan memanjakan mata.

Selain arsitektur yang menarik, Penglipuran juga tersohor sebagai desa yang melarang warganya memiliki isteri lebih dari satu alias poligami. Jangan sekali-kali melanggar aturan ini jika tidak ingin dikucilkan di tempat khusus. Dalam awig-awig (aturan) desa termaktub ketentuan sebagai berikut: “tan kadadosang madue istri langkung ring asiki”. Artinya warga adat tidak boleh punya isteri lebih dari satu.

Menurut Wayan Supat, peraturan adat yang terkait dengan poligami ini sangat keras karena warga yang melanggar langsung dikucilkan dari pemukiman umum. Lokasi pengucilan ini disebut dengan Karang Memadu atau tempat untuk orang beristri lebih dari satu yang berada di ujung selatan desa. “Masyarakat Penglipuran menganggap lahan ini kotor atau leteh,” katanya. Untuk mengucilkan pelaku poligami, warga membuat gubuk di luar desa.

Dalam awig-awig tentang poligami, lelang Penglipuran yang ketahuan memiliki isteri lebih dari satu hanya boleh melintasi jalan-jalan tertentu di wilayah desa. Mereka hanya boleh melewati jalan luar desa adat dan dilarang melewati jalan utama desa. Akibatnya ruang gerak mereka jadi terbatas dan pernikahan poligami tidak akan dilegitimasi oleh desa. Lelaki pelaku poligami juga dilarang bersembahyang di pura yang ada di desa. “Namun, sampai sekarang belum pernah ada yang melanggar awig-awig ini,” katanya.

No comments:

Post a Comment