Thursday 14 April 2016

Makan Pagi Bersama Lumba-lumba

Matahari masih tertutup awan tipis di ujung timur ketika dua kapal motor seukuran 4 x 25 meter itu bergerak perlahan meninggalkan dermaga Patuno Resort di Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Semilir angin dari arah barat membuat laju kapal yang berlayar ke arah timur ini berjalan tenang dan terasa lebih cepat. Begitu kapal menjauh dua mil dari titik pemberangkatan, matahari muncul seakan mengucapkan selamat menikmati perairan Wakatobi. Ya, kami sengaja bangun lebih pagi karena ingin menikmati sesuatu yang lain di nirwana wisata Indonesia ini. Sejak semalam, kami sepakat sarapan pagi besok dilakukan di atas kapal sambil menikmati atraksi lumba-lumba pada November tahun lalu.

Sambil berdoa cuaca tetap cerah dan ombak tidak terlalu besar, kami juga berdoa lumba-lumba itu benar-benar muncul. Biasanya mamalia ini gampang ditemukan di sisi timur pulau, tepatnya di antara Wangi-wangi dan pulau Kapota. Jarak dua pulau ini hanya 15 menit berperahu motor. Tapi, hari itu nakhoda kapal memutuskan melalui sisi utara untuk mengantisipasi kemungkinan lumba-lumba tidak lagi di tempat biasanya. Akibatnya, jarak yang kami tempuh jadi lebih jauh. “Kita tidak tahu pasti di mana posisi lumba-lumba hari ini,” katanya. Karena itu, meski sudah satu jam di atas kapal, lokasi lumba-lumba belum juga ditemukan. Yang kami temukan justru nelayan-nelayan dengan perahu kecil sedang mencari ikan cakalang dan tuna memakai pancing layang-layang.

Jumlah nelayan semakin banyak ketika kapal beralih haluan mendekati perairan Kapota. “Tidak lama lagi kita dapat,” katanya. Mata nakhoda ini semakin awas menatap. “Nah, itu dia,” katanya sambil menunjuk sisi kanan kapal dan menarik tuas gas untuk menambah kecepatan. Dari jarak sekitar satu mil, tampak sesuatu berkilauan muncul dan tenggelam. Semakin dekat semakin jelas kalau itu lumba-lumba. Jumlahnya bukan hanya satu atau dua, tapi belasan di setiap kelompok. Pagi itu, setidaknya ada lima kelompok lumba-lumba yang muncul tenggelam di titik berbeda. Jarak antara kelompok ini sekitar 500 meter dan bergerak ke arah berlainan. “Luar biasa. Baru sekarang saya bisa menikmati lumba-lumba dalam jumlah banyak,” kata Anton Thedy, Founder TX Travel yang memimpin 30 orang rombongan wisata domestik Indonesia ke Wakatobi ini.


Menikmati atraksi lumba-lumba memang belum menjadi jualan utama wisata Wakatobi karena kawasan ini lebih dikenal dengan keindahan bawah lautnya. Wakatobi terletak di Coral Triangle atau segitiga terumbu karang dunia seperti Bunaken dan Raja Ampat. Ia ibarat sepetak istana karang milik Indonesia. Ada 750 dari 900 spesies karang dunia terdapat di taman nasional ini. Kawasan ini juga dihuni oleh 3.000 spesies ikan atau lebih dari separuh spesies ikan di dunia. Tidak heran jika Wakatobi identik dengan wisata bawah laut seperti menyelam dan snorkeling. Padahal, wisata atas lautnya tidak kalah menarik. Selain panorama sunset dan sunrise yang menakjubkan, menonton atraksi lumba-lumba seperti yang kami lakukan tidak kalah menarik juga. Karena itu, kami bersyukur bertemu dengan rombongan besar lumba-lumba meski harus bersusah payah lebih dulu.

Dua kapal yang membawa kami berpencar mengikuti kelompok lumba-lumba. Entah berapa kali kapal ini harus berputar haluan mengikuti ke mana mamalia itu bergerak dan muncul. Sesekali kami terkecoh karena mengejar mereka ke arah barat, tiba-tiba belasan lumba-lumba muncul di belakang kapal kami. Mereka seperti mengawal kapal yang tidak berhenti belok kiri dan kanan ini. Empat ekor lumba-lumba berenang di sisi kiri dan kanan kapal. Satu ekor yang cukup besar, kira-kira panjangnya dua meter, muncul dan tenggelam di depan ujung kapal. Suasana kapal jadi riuh karena semua orang sibuk mengarahkan kamera ke lumba-lumba. Atraksi ini mengingatkan kami pada pengalaman serupa di Teluk Kiluan, Lampung dan Pantai Lovina, Bali. Tapi, lumba-lumba memiliki arti khusus bagi masyarakat Wakatobi, terutama suku Bajo. Wakatobi dan Bajo tak bisa dipisahkan karena di sinilah komunitas suku Bajo terbesar di dunia berada.

Pemukiman terbesar suku Bajo di Wakatobi terdapat di Mola Raya yang tersebar di Mola Bahari, Mola Utara, Mola Samaturu, Mola Selatan, dan Mola Nelayan Bhakti. Kawasan berjarak 26 kilo meter dari Bandara Matahora, Wakatobi ini dihuni 16 ribu warga Bajo. Sebagai pengembara laut, mencari ikan adalah pencaharian utama mereka. Untuk mencari ikan, mereka menjadikan lumba-lumba sebagai petunjuk. “Suku Bajo menyebut lumba-lumba dengan Lummu,” kata Iwan Khatib, Dive Master Patuno Resort. Jika Lummu Pakorek (Delphinus delphis) atau lumba-lumba biasa yang muncul, maka jadi pertanda baik dan hasil tangkapan biasanya bagus. Jika lumba-lumba gigi kasar (Stenno bredanensis) yang menggigit kail pancing, hasil tangkapan biasanya kurang baik. Tapi, kalau Lummu Mapote atau lumba-lumba risso (Grampus griseus) muncul, mereka langsung pulang karena itu tanda bakal terjadi bencana.

Kami beruntung karena lumba-lumba yang muncul pagi itu adalah Lummu Pakorek. Karena itu, nelayan yang mencari ikan cukup banyak di antara Wangi-wangi dan Kapota. Mereka tenang dan tidak merasa terganggu dengan kehadiran lumba-lumba. Meski jenis ikan yang mereka pancing sama dengan ikan yang dimakan mamalia itu, mereka tidak merasa bersaing. Mereka memilih hidup berdampingan tanpa harus saling mengalahkan. Nelayan-nelayan ini melaut selepas shalat subuh. Jumlah ikan yang dipancing tidak pernah berlebihan karena mereka tidak ingin ikan habis akibat terlalu banyak diambil. Setelah ikan yang dipancing dirasa cukup untuk dimakan maupun dijual, mereka bergegas pulang. “Ikan yang mereka pancing itu yang jadi menu sarapan kita pagi ini,” kata Anton Thedy sambil membuka kotak nasi. Kapal berhenti sejenak di tengah laut karena kami harus sarapan. Tapi, belasan lumba-lumba itu masih saja menggoda kami dengan muncul dan tenggelan di sisi kiri dan kanan kapal.

No comments:

Post a Comment