Wednesday, 8 June 2016

Gandrung Banyuwangi Awalnya Ditarikan Oleh Laki-laki


Gandrung adalah simbol Banyuwangi. Tidak mengherankan jika patung penari Gandrung mudah ditemukan di sudut desa, pintu masuk kecamatan, perempatan jalan, hingga kantor pemerintahan. Kesenian yang memiliki satu genre dengan Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Lengger di Cilacap dan Banyumas ini menampilkan biasanya sejumlah penari, biasanya empat dalam sebuah pementasan. Di awal kehadirannya pada abad ke-18, penari Gandrung adalah laki-laki yang berbusana layaknya penari perempuan.

Meski tidak ada bukti tertulis kapan kesenian ini mulai dikenalkan, pemaknaan terhadap syair-syair klasik Gandrung dapat menggambarkan bahwa kesenian ini salah satu sarana perjuangan rakyat Blambangan melawan Belanda. Setelah kalah dalam perang Puputan Bayu tahun 1771-1772, rakyat Blambangan terpencar dalam kelompok kecil-kecil di hutan. Untuk menghubungi mereka, pemain kesenian ini menemui mereka sambil menari menembangkan gending untuk membangkitkan semangat melawan tentara Belanda.

Beberapa gending klasik yang dimaknai itu antara lain Padha Nonton, Sekar Jenang, Seblang Lokinto, Layar Kumendhung dan lain-lain. Gending Padha Nonton misalnya menggambarkan kekejaman kerja paksa tanam paksa yang dijalankan Belanda. Sedangkan Layar Kemendhung memotret perlawanan rakyat Blambangan terhadap Belanda tahun 1776. Gending-gending ini biasanya juga dibawakan dalam kesenian Seblang.



Antropolog Belanda, John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi (1927) mengatakan alat musik yang mereka gunakan adalah rebana dan kendang. Kelompok kesenian ini mendapatkan sedekah berupa beras setelah menari dan menembang. Seiring dengan masuknya ajaran Islam, penari Gandrung laki-laki (Gandrung Lanang) mulai berkurang sejak tahun 1894 dan lenyap di tahun 1914. Lelaki terakhir yang tercatat sebagai penari Gandrung bernama Marsan.

Seiring penyusutan Gandrung laki-laki, Gandrung perempuan mulai muncul tahun 1895. Sesuai keyakinan masyarakat, perempuan pertama yang menjadi penari Gandrung adalah Semi yang baru berusia 10 tahun. Mak Midah, ibu Semi bernazar kalau anaknya sembuh dari sakit parah, dia akan menjadikannya penari Gandrung. Semi benar-benar sembuh dan dimulailah babak baru perempuan sebagai penari Gandrung. Semi dan adik-adiknya menjadi ikon baru Gandrung.

Bagi sebagian kalangan, hilangnya Gandrung Lanang bukan karena ajaran Islam yang semakin banyak dianut masyarakat Banyuwangi. Munculnya Semi dari Desa Cungking dengan gerakan tarian yang tidak bisa dibawakan Gandrung Lanang membuat masyarakat mulai melupakan Gandrung Lanang. Semi memang menjadi ikon pada masanya yang kemudian menginspirasi gadis-gadis lain mengikuti jejaknya.

Aturan tidak tertulis bahwa penari Gandrung hanya boleh dibawakan keturunan penari Gandrung mulai berakhir sekitar tahun 1970-an. Pendapatan penari Gandrung membuat gadis-gadis muda tertarik belajar menari dan menjadi penari Gandrung. Apalagi permintaan untuk manggung di acara hajatan, sunatan atau hari besar nasional semakin banyak. Selain faktor ekonomi, hasrat untuk mempertahankan kesenian ini membuat mereka memilih menjadi penari Gandrung.

Gandrung biasanya dipentaskan pada malam hari yang terdiri dari tiga bagian yakni Jejer, Maju dan Seblang Subuh. Jejer adalah pembuka seluruh pertunjukan di mana penari menembangkan beberapa lagu dan menari sendiri tanpa tamu. Setelah Jejer selesai dilanjutkan dengan Maju di mana penari memberikan selendangnya kepada tamu penting untuk mendapatkan kesempatan menarik bersama. Penonton akan mendapat giliran menari bersama setelah tari-menari dengan tamu-tamu pilihan itu selesai.

Sedangkan Seblang Subuh merupakan proses penutup seluruh pementasan yang dilakukan pada dini hari menjelang subuh. Di bagian ini, suasana magis lebih terasa karena penari Gandrung melambatkan gerakan tarinya dengan penuh penghayatan. Kipas di tangan dikibaskan perlahan sambil menembangkan lirik yang lirih seperti tembang Seblang Lokento. Suasana magis pada bagian ini muncul karena masih berhubungan dengan ritual Seblang.

Dalam perkembangan terkini, banyak pementasan Gandrung diperpendek sekitar 2-5 jam saja. Pementasan juga tidak harus di malam hari. Bagian Seblang Subuh sebagai klimaks kesenian ini mulai ditinggalkan. Tapi, Gandrung tetap membuat orang tergila-gila sesuai makna harfiahnya yakni “rasa suka hingga tergila-gila” untuk melihat, menonton, dan menikmatinya.

1 comment:

  1. assalamualaikum we.wb,saya. IBU ENDANG WULANDARI Dri jawah timur tapi sekarang merantahu di teiwan bekerja sebagai pembantu ingin mengucapakan banyak terimah kasih kepada KI KANJENG DEMANG atas bantuan AKI. Kini impian saya selama ini semaunya sudah tercapai kenyataan dan berkat bantuan KI KANJENG DEMANG pula yang telah memberikan Angka gaib hasil ritual beliau kepada saya yaitu 4D. Dan alhamdulillah berasil tembus. Dan rencana saya ingin Mau pulang ke kampung kumpul kembali degang keluarga saya sekali lagi makasih yaa KI karna waktu itu saya cuma bermodalkan uang cuma 400rb Dan akhirnya saya menang. berkat angka gaib hasil ritual AKI KANJENG DEMANG saya sudah buka usaha warung makan Dan suami saya peternakan. Kini kehidupan keluarga saya jauh lebih baik dari sebelumnya, Dan saya ATAS Nama IBU ENDANG WULANDARI sekali lagi saya betul betul sagat berterima kasih kepada AKI Dan saya minta Maaf kalau Nama AKI saya tulis di internet itu semua saya lakukan karna saya Mau ada orang yang meminta bantuan Sama AKI agar seperti saya sudah sukses. Dan membatu orang orang yang kesusaan. bagi anda yang ingin seperti saya silahkan HUB / KI KANJENG DEMANG di Nomor INI: 081 / 234 / 666 / 039 / insya allah AKI akan membantu anda karna ramalan KI KANJENG DEMANG memiliki ramalan GAIB yang bagus Dan dijamain tembus

    ReplyDelete