Ada banyak tokoh pejuang dan pahlawan yang saya dapati selama di bangku sekolah seperti Haji Agus Salim, Bung Hatta, Nur Sutan Iskandar, M. Natsir. Ketika nyantri di pesantren Al Amien Prenduan, Madura saya mulai mengenal nama beberapa ulama besar seperti Syeikh Burhanudin Ulakan, Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Jamil Jambek, Haji Miskin, Mahmud Yunus, hingga Buya Hamka. Saat menjadi wartawan di Republika dan Tempo, saya mulai berinteraksi dengan Syahril Sabirin (Gubernur BI), Buya Syafi’ie Ma’arif (Ketua PP Muhammadiyah), Asvi Marwan Adam (Sejarawan LIPI), Taufiq Ismail (Penyair), Azyumardi Azra (Cendekiawan), dan lain-lain.
Mereka semua tokoh besar dan figur penting pada masanya yang lahir dari rahim Minangkabau. Tidak semuanya memang lahir di Bukittinggi, tapi masih di daerah-daerah yang terhubung dan tidak jauh dari kota yang pernah dijuluki Parisj van Sumatera ini. Buya Syafi’ie misalnya, lahir di Sawahlunto. Azyumardi Azra di Lubuk Alung, Pariaman. M. Natsir di Alahan Panjang, Solok. Yang lain memang lahir di Bukittinggi. Tentu menarik melihat kampung halaman tempat tokoh besar dilahirkan. Apalagi jika kampung itu jauh dari gambaran yang sudah kita perkirakan. Ada rasa takjub dan kagum bagaimana mereka berjuang hingga menjadi sosok yang menancapkan namanya dengan tintas emas dalam sejarah bangsa ini.
Koto Gadang, Bukittinggi adalah tempat kelahiran Haji Agus Salim. Nagari ini berada di bagian utara lereng Gunung Singgalang, tepatnya di tepian Ngarai Sianok, tebing curam yang menjadi benteng alam bagi nagari-nagari di sekitarnya. Jalanan yang berkontur menanjak dan berkelok ini sudah beraspal meskipun tidak terlalu lebar sehingga salah satu kendaraan harus mengalah jika berpapasan. Sebagian besar rumah penduduknya bercorak rumah gadang yang dimodifikasi dengan sentuhan terkini. Tapi, tidak sulit menemukan rumah gadang yang masih utuh dan asli.
Rumah Haji Agus Salim berada di bagian paling ujung dengan latar belakang lereng Gunung Singgalang. Suasana perkampungan yang masih asri sangat terasa. Di beberapa tempat, nagari ini juga dikenal dengan perajin peraknya. Kerajinan itu dijalankan secara tradisional di rumah-rumah warga dengan konsep industri rumahan. Satu hal yang membuat saya terkesiap adalah saat membayangkan suasana kampung ini satu abad silam ketika Haji Agus Salim dilahirkan. Hening dan sepi, itulah jawaban saya dalam hati. Namun, di tengah sepi inilah surau tempat Haji Agus Salim mengaji tetap semarak.
Pertanyaan serupa juga muncul ketika saya dan beberapa tamu yang datang kemudian tiba di Nagari Sungai Batang, tempat Buya Hamka dilahirkan. Mohd. Yusof Mohd. Yasser, warga Johor Bahru, Malaysia yang berkunjung pada 3 November 2013 mengatakan takjub bagaimana Buya Hamka menjadi ulama besar karena hanya berasal dari desa terpencil. “Saya baru sekarang nak tahu ini kampung tempat lahir Buya Hamka, jadi saya susah cakap” kata lelaki 30-an tahun ini. Dalam hati saya bilang, saya sudah lama mendengarnya, tapi baru sekarang sampai di sini…. Sudah terbayang susahnya transportasi untuk keluar dari nagari di bibir Danau Maninjau ini.
Nagari Sungai Batang tentu teramat sulit dijangkau ketika Hamka lahir. Untuk sampai di rumah Buya Hamka yang sekarang menjadi Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, saya harus melintasi bukit yang terkenal dengan Kelok Ampek Puluah Ampek (Kelok 44). Ya, ada 44 tikungan tajam dengan kontur jalan menanjak dan menurun yang harus dilewati untuk sampai ke Sungai Batang. Meski nagari ini mulai ramai, tapi lokasi rumah dan surau Buya Hamka berada di bagian nagari yang masih sepi. Saya berdecak takjub bagaimana perjuangan penulis Tafsir Al Azhar ini puluhan tahun silam ketika berada di tempat ini?
Bagian belakang rumah Hamka adalah bukit yang menjadi bagian dari Bukit Barisan yang mengelilingi Danau Maninjau. Pepohonan lebat adalah satu-satunya pemandangan yang dapat dinilihat di bagian belakang rumah ini. Adapun bagian depan rumah langsung menghadap Danau Maninjau. Jarak rumah dan tepi danau lebih kurang 50 meter. Memandang keelokan Maninjau dari teras rumah Hamka memang menarik. Hamka mengungkapkan pesona kampungnya dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka dengan kalimat bersahaja:
“Saya sangat terkesan pada desa kelahiran saya. Saya sudah sering keliling dunia, tapi rasanya tidak ada pemandangan yang seindah Maninjau. Desa itu pun mempunyai arti penting bagi hidup saya. Begitu indahnya seakan-akan mengundang kita untuk melihat alam yang ada di balik pemandangan itu…” (bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment