Senandung azan subuh menyelinap dari balik selimut yang menutupi sekujur tubuh. Dari celah-celah jendela kayu rumah ante di Nagari Cingkariang, saya lihat embun masih tebal. Saya tetap beranjak ke kamar mandi mengambil air wudhu. Wow, subhanallah, air ini bukan sekadar dingin, tapi nyaris membeku untuk ukuran saya yang terbiasa dengan cuaca Jakarta.
Secangkir teh tarik hangat membuat suasana pagi semakin nikmat. Di dalam rumah lawas khas Minangkabau yang terbuat dari kayu ini cuaca cukup bersahabat dibandingkan di luar rumah. Apalagi lantai kayu di rumah ini mampu mengurangi bekapan dingin dibanding rumah dengan lantai dari keramik maupun semen. Pagi ini terasa makin sempurna setelah memanjakan mata dengan hamparan sawah dan kebun terong di belakang rumah.
Menyusuri jalan-jalan kecil di nagari ini membuat pagi semakin berarti. Apalagi dari kejauhan terlihat serombongan anak usia sekolah dasar baru turun dari surau. Yang lelaki berlung kain di pundak dan yang perempuan membiarkan mukena putih melilit di leher. Senda gurau mereka mengingatkan saya pada kampung halaman di Glenmore, Banyuwangi. Apalagi surau-surau ini, di kampung saya disebut langgar, juga berlatar belakang gunung. Yang di Bukittinggi dengan latar belakang Gunung Marapi dan Singgalang. Yang di Glenmore berlatar Gunung Raung.
Suasana ini juga mengingatkan saya pada tulisan Buya Hamka yang saya baca 20 tahun silam. Dua novel Hamka yang termasyhur, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mengawali perkenalan imajinasi saya dengan suasana ranah Minang. Salah satu yang membuat penasaran adalah suasana relijius masyarakat, tradisi mengaji dan belajar silat di surau, sampai tradisi merantau yang bertahan hingga sekarang. Apalagi Gunung Singgalang dan Marapi yang mengapit Bukittinggi ada di depan mata. Jaraknya pun hanya sepelemparan batu.
Tradisi mengaji di surau ini tidak lepas dari sejarah panjang. Awalnya, budaya Minang bercorak animisme dan Hindu-Budha. Setelah kedatangan kaum reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan budaya Minang yang tidak sesuai hukum Islam dihapus. Ulama-ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak kaum adat mengubah pandangan budaya Minang untuk berkiblat pada syariat Islam. Tradisi sabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak akhirnya diharamkan.
Revolusi budaya yang dilakukan setelah Perang Padri yang berakhir tahun 1837 menghasilkan
perjanjian antara ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai. Mereka bersepakat untuk mendasarkan budaya Minang pada syariat Islam yang tertuang dalam “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Sejak reformasi budaya ini, pola pendidikan dan pengembangan warga Minang berlandaskan nilai-nilai Islam. Sejak itulah setiap kampung atau jorong memiliki masjid selain surau yang dimiliki setiap lingkungan kerluarga. Pemuda Minang yang beranjak dewasa wajib tidur di surau untuk belajar mengaji sambil ditempa fisiknya dengan keterampilan ilmu silat.
Tapi, tak hanya pemuda yang mengaji di surau. Di suatu pagi pada akhir tahun lalu, surau-surau itu juga ramai oleh jemaah dari kaum ibu dan bapak. Surau-surau pun menjadi makmur karena tak pernah sepi jamaah. (bersambung)
No comments:
Post a Comment