Thursday 7 April 2016

Malin Kundang, Sudah Jadi Batu Terhimpit PKL Pula (X)

Setelah puas menikmati air terjun Lembah Anai dan pesona alam di sekitarnya, saya memulai kembali perjalanan menuju Padang. Satu destinasi lagi yang harus saya tuju: Pantai Air Manis dengan Batu Malin Kundang yang tersohor sebagai salah satu cerita rakyat dari Sumatera Barat. Padang, selain identik dengan rumah makan, juga terkenal karena batu dengan bentuk seperti manusia sedang bersujud yang dikenal sebagai batu Malin Kundang. Lokasinya di pantai Air Manis, berada di balik punggung bukit Pelabuhan Teluk Bayur, sekitar 10 kilometer dari kota Padang. Karena posisi saya dari arah Bukittinggi, saya memutuskan tidak masuk kota Padang, tapi belok kiri di perempatan arah Bandara Minangkabau dan kota Padang.

Butuh waktu 45 menit untuk sampai Pantai Air Manis, termasuk melintasi bukit dengan jalan yang terjal dengan belokan-belokan tajam. Lebar jalan di bukit ini tidak terlalu luas sehingga harus hati-hati jika berpapasan. Tapi, begitu berada di puncak bukit, pemandangan menarik tersaji di depan mata. Ada pelabuhan Teluk Bayur yang namanya sudah saya dengar melalui lagu-lagu lawas sejak saya kecil. Satu lagi pabrik Semen Padang dengan asap yang membubung dari waktu ke waktu seperti asap membelah barisan perbukitan. Jalan terjal ini jadi tantangan tersendiri untuk menikmati pesona Pantai Air Manis dengan batu Malin Kundangnya. Tapi, begitu sampai di tepi pantai, usaha keras itu terbayar lunas.

Meski air sedang surut, waktu terbaik bermain di pantai ini, saya kurang tertarik karena sudah terlalu sering bermain di pantai dengan kontur yang sama. Karena itu, saya langsung menuju ke lokasi Batu Malin Kundang di bagian paling ujung pantai. Apalagi anak pertama saya penasaran dengan batu yang berbentuk manusia sedang bersujud. Sejak berangkat menuju Bukittinggi, dia hanya tertarik ingin melihat ‘sosok’ Malin Kundang setelah membaca cerita si anak durhaka ini lewat buku dan menonton di video. Dia penasaran benar melihat ganjaran si anak durhaka yang dikutuk menjadi batu. “Kok bisa yah orang dikutuk sampai jadi batu,” begitu selalu yang dia tanyakan sebelum melihat si batu bersujud ini.


Yup, benar saja. Dia seperti menemukan sesuatu ketika melihat onggokan batu dengan posisi seperti orang bersujud. Apalagi di sekitar batu itu terdapat onggokan batu yang menyerupai dinding kapal si Malin Kundang yang karam. Tidak jauh dari batu bersujud ada bebatuan dalam aneka rupa seperti tong penampung air, tali-tali pengikat layar kapal, kotak menyerupai peti dan lain-lain. Intinya, satu area seluas kira-kira 300 meterpersegi ini menggambarkan kapal besar yang karam dengan titik sentral Malin Kundang yang bersujud minta ampun pada ibunya karena tidak mengakui ibu kandungnya setelah sukses di perantauan. Pesan moral dari cerita rakyat ini memang cukup bagus dan mudah dimengerti anak-anak.

Tapi, melihat betapa rapinya batu berbentuk tong penampung air dan tali-temali kapal, anak saya malah bertanya kebenaran cerita rakyat ini. “Yah, apa betul batu-batu ini dulunya kapal Malin Kundang yang dikutuk jadi batu?” dia bertanya. Dalam hati saya juga memiliki pertanyaan yang sama. Terlalu indah dan terlalu rapi tali-tali yang membatu ini jika benar-benar akibat kutukan. Saya yang pernah lama berinteraksi dengan seniman-seniman patung punya pendapat rasanya tidak mungkin benda-benda seperti ini terjadi dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia. Apalagi belum ada penelitian arkeologis yang membuktikan batu Malin Kundang ini berasal dari masa silam. Ah, tapi sudahlah saya tidak ingin berprasangka.

Terlepas benar atau tidaknya batu berbentuk manusia bersujud ini benar-benar Malin Kundang yang dikutuk karena durhaka pada ibunya, saya hanya berharap ada pesan moral yang diterima oleh siapa pun yang mengunjungi tempat ini. Yang pasti, Pantai Air Manis dengan Batu Malin Kundang ini merupakan aset wisata yang layak dikelola dengan lebih baik dan dikembangkan. Selain pantainya nyaman untuk bersantai, ada Pulau Pisang yang berjarak sekitar 300 meter dari bibir pantai. Jika air laut sedang surut, kita bisa berjalan kaki ke pulau ini. Tapi, jika air sedang pasang, pulau kecil ini seperti terpisah dari daratan.

Tapi, keunggulan Pantai Air Manis dan Batu Malin Kundang itu kurang terkelola dengan baik. Sayang sekali pantai sebagus ini jika dikelola dengan cara biasa-biasa saja. Bukan saja sampah yang mudah ditemukan di beberapa lokasi, tapi keberadaan pedagang kaki lima juga butuh penataan yang lebih baik. Lapak-lapak pedagang kaki lima ini seperti berebut ingin mendekat dengan Batu Malin Kundang karena di situlah tempat orang berkerumun. Lapak-lapak PKL ini bukan saja mempersempit akses menuju batu bersujud, tapi juga membuat area bekas kapal si Malin makin menyempit. Bahkan, satu dua tali tenda pedagang ini dikaitkan ke batu-batu yang menjadi bagian dari kapal Malin Kundang. Ah, kasihan benar si Makin Kundang, sudah dikutuk jadi batu masih terhimpit PKL pula. (habis)

No comments:

Post a Comment