Thursday, 7 April 2016

Lembah Anai, Cantik Tapi Juga Bisa Temperamental (IX)

Setelah berhari-hari menikmati keindahan dan pesona Bukittinggi dan beberapa daerah berhawa sejuk yang lain di Sumatera Barat, pada akhirnya saya harus kembali ke Jakarta. Pesawat Garuda Indonesia yang akan membawa saya akan terbang dari Bandara Minangkabau sekitar pukul enam sore. Beberapa tempat wisata di jalur Bukittinggi-Padang masuk daftar yang harus saya datangi. Salah satunya Pantai Air Manis di Padang karena ada batu Malin Kundang. Dalam perjalanan ini, sekali lagi saya ingin menikmati kota Padang Panjang karena kota ini berada di jalur lintas antara Bukittinggi-Padang. Setelah mengestimasi lama perjalanan, saya akhirnya berangkat pada pukul delapan pagi menuju Padang.

Cuaca sedang cerah ketika saya meninggalkan Bukittinggi. Sepanjang perjalanan, pemandangan pagi begitu menawan mata. Tidak hanya bukit dan pegunungan yang menghiasi perjalanan, tapi juga aktifitas warga ketika sedang libur nasional. Padang Panjang lebih ramai dan lebih terlihat wajah asli kota yang menyerupai lukisan dengan latar belakang gunung Singgalang, Marapi dan Tandikek seperti lebih jelas berada di depan mata. Begitu meninggalkan kota Padang Panjang, saya kembali bertemu dengan jalur perbukitan seperti saat menuju Batusangkar dan Singkarak. Bedanya ruas jalanan kali ini lebih lebar. Truk maupun bus jurusan Jakarta lebih mudah ditemui karena jalur ini termasuk jalur lintas Sumatera.

Tak lama meninggalkan Padang Panjang, saya menemukan panorama yang memikat mata ketika kendaraan memasuki kawasan hutan lindung Lembah Anai. Lembah ini terkenal karena bukit dan jurangnya yang terjal, serta air terjun dan sungai Batang Anai yang cantik. Satu hal yang tak boleh dilewatkan di sini: air terjun Lembah Anai dan dan air sungai Batang Anai yang mengalir salah satunya dari Gunung Singgalang di sisi utara dan anak-anak sungai dari Gunung Merapi. Airnya mererobos Bukit Barisan lalu menjadi air terjun Lembah Anai yang berada tepat di sisi kanan jalan jika kita menuju Padang dari Padang Panjang. Air yang menerobos bukit-bukit terjal dan jatuh tepat di sisi jalan ini jadi pemandangan yang memanjakan mata.


Pesona air terjun ini lebih cocok dipandang dari jarak agak jauh, kira-kira 100 meter. Lokasinya yang berada di pinggir jalan membuatnya tak banyak memiliki ruang bagi wisatawan, terutama yang ingin memotret air terjun ini. Tapi, jika kita sedikit berani mengambil risiko, tidak ada salahnya mencoba memotret dari dekat asal lensa kamera dijamin aman terlindungi dari biasan air yang memuncrat ke udara. Atau jika ingin lebih menyelami pesona air terjun ini, bisa juga menceburkan kaki mencoba sengatan dinginnya air Lembah Anai.

Tak hanya air terjun yang sedap dipandang di sini. Bagi orang yang terbiasa hidup di Jakarta, pemandangan Lembah Anai sungguh memikat. Tak sulit menemukan pohon dengan batangnya yang sebesar mobil angkutan kota alias angkot. Akar-akar pohon yang menjuntai yang selama ini hanya bisa saya nikmati di televisi, kini berada di depan mata. Di tengah rimbun pohon dan jalan yang berliku-liku, tiba-tiba saya melihat rel kereta membentang di antara bukit tepat di atas jalan. Wow, menarik sekali. Kontur jembatan rel kereta api itu mengingatkan saya pada jembatan yang sama di Purwakarta, Jawa Barat jika kita melintasi jalan tol Cipularang. Di antara kilometer 90 hingga 100, terbentang jembatan panjang dengan pemandangan rel kereta melintasi bukit.

Saya sudah menduga jembatan dengan kontur melengkung ini pasti buatan Belanda seperti di kampung saya di Glenmore, Banyuwangi. Setelah bertanya ke sana dan kemari serta membuka literatur, benar rupanya, rel kereta itu dibangun Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch adalah orang pertama yang memerintahkan membuat jalan raya mengikuti alur Sungai Batang Anai berikut jalur kereta api di kawasan ini. Rek ini menggunakan rel bergigi sepanjang 33,8 kilometer. Lokomotifnya juga lokomotif khusus untuk rel bergigi. Rek bergigi ini memang baru saya termukan di sini, berbeda dengan rel kereta di depan rumah saya di kampung. Rel bergigi ini dipilih karena jalur keretanya menanjak tajam. Ada beberapa jembatan kereta di sini, salah satunya jembatan plat baja sepanjang 50 meter yang sangat sangat tinggi karena harus melintasi kawasan hutan Lembah Anai dan Sungai Batang Anai yang ada di bawahnya.

Dulu, jalur kereta yang selesai dibangun tahun 1881 ini menghubungkan Emma Haven (sekarang Pelabuhan Teluk Bayur) di Padang menuju Sawahlunto sepanjang 155,5 km. Rel ini melewati Lembah Anai, Padang Panjang, tepian Danau Singkarak hingga Kota Sawahlunto. Ah, akhirnya saya bertemu lagi dengan jalur kereta yang beberapa hari lalu saya temukan di tepian Singkarak. Meski kurang terurus karena sudah tidak dipakai, jalur kereta ini masih utuh bentuk fisiknya. Saya pernah mendengar jalur ini akan direvitalisasi. Ya, mudah-mudahan segera terealisais.

Oh ya, meski Lembah Anai menyimpan pesona dan keindahan yang menawan, lebih baik tidak berkunjung ke sini ketika musim hujan. Meminjam istilah beberapa warga Minang, Sungai Batang Anai itu temperamental. Meskipun cantik ditatap mata, tapi sangat ganas kalau sudah marah. Bila hujan lebat tiba, airnya bukan saja meluap meluber ke jalan, tapi juga merobohkan tembok jika kekuatannya sedang maksimal. Jadi, jangan heran jika lalu lintas di jalur ini tiba-tiba macet berkilo-kilo jika Sungai Batang Anai sedang marah. Menurut beberapa orang di sana, air ini pernah merobohkan jembatan kereta di jaman Belanda dulu. Jadi, jika berniat melintasi dan menikmati Lembah Anai, datanglah ketika cuaca bersahabat. (bersambung)

No comments:

Post a Comment