Thursday, 7 April 2016

Teringat Kembali Cerita Tentang Kota Santri (VI)

Ada banyak kota santri di Indonesia yang sudah saya kunjungi sejak belasan tahun lalu. Setiap kota memiliki ciri khas yang kadang mirip dengan kota santri lainnya. Tapi, tidak jarang juga satu kota santri teramat beda dibandingkan kota santri lainnya. Kota-kota itu disebut kota santri karena ada beberapa pesantren berdiri di tengah atau pinggiran kota. Kota Sampang di Madura misalnya, sangat kental nuansa tradisionalnya. Begitu juga dengan Kota Situbondo dan Kediri di Jawa Timur. Sedangkan Jombang, nuansanya lebih terbuka. Adapun Bangil, lebih kental nuansa santri Timur Tengahnya.

Di Jawa Tengah, ada Lasem. Kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang ini juga dijuluki kota santri selain Tiongkok Kecil. Kota yang memiliki 19 pesantren ini sangat kental dengan nuansa Tiongkok klasik dari arsitektur bangunan-bangunan lawasnya. Sedangkan di Jawa Barat, tentu saja Tasikmalaya dan Garut layak dimasukkan dalam kategori kota santri. Yang menarik justru kota Ponorogo. Di sini ada beberapa pesantren besar. Salah satunya, Pondok Modern Gontor, tempat saya nyantri satu bulan selama Ramadhan pada pertengahan 1980-an. Ponorogo terkenal karena dua hal: Kesenian Reog dan Pesantren Gontor. Tapi, Ponorogo tidak disebut kota santri mungkin karena lokasi pesantren ada di Kecamatan Mlarak, bukan di tengah atau pinggiran kota.

Di Gontor inilah saya mulai mengenal kota Padang Panjang, salah satu tempat pendiri Gontor, KH Imam Zarkasyi menuntut ilmu. Pengetahuan saya tentang Padang Panjang makin bertambah setelah beberapa literatur yang saya baca ditulis oleh ulama dari Padang Panjang. Saya semakin penasaran dengan kota ini setelah berteman dengan beberapa santri dari Padang Panjang ketika nyantri di Pesantren Al Amien, Madura. Dari cerita mereka, saya yakin kota ini menarik untuk dikunjungi. Yah, paling tidak saya ingin melengkapi memori pelesiran ke kota-kota santri yang sudah saya kunjungi. Setelah berkali-kali batal, akhirnya saya datang juga ke Padang Panjang pada awal November 2013 ini.

Seperti imajinasi saya sebelumnya, kota Padang Panjang menawarkan ketenangan, kedamaian, dan nuansa Islami yang kental. Apalagi saya tiba di kota ini menjelang senja setelah pelesiran di Danau Singkarak. Sebagian besar rumah, toko dan area komersial menutup pintu ketika magrib. Yang ramai justru surau, masjid dan santri yang hilir mudik dari pemondokan menuju masjid. Saya hampir tidak menemukan sampah berserakan di jalanan. Sepanjang jalan yang saya lalui benar-benar bersih, rapi, dan enak dipandang. Berbeda dengan beberapa kota yang memasang papan beraksara Arab “kebersihan itu sebagian dari iman” tapi sampah berserakan di kanan dan kiri papan. Hidup bersih itu soal sikap dan perilaku, bukan hanya baliho di pinggir jalan.


Nuansa Islami tentu tidak lepas dari keberadaan pesantren. Sejak awal abad ke-20, kota ini jadi tempat belajar ilmu agama ulama besar dari pelbagai daerah. Di sini pula berdiri Sumatera Thawalib, semacam pesantren yang sudah tersohor sejak abad ke-20. Selain itu juga masih ada beberapa pesantren tersohor seperti Serambi Mekkah, Thawalib Putri, Diniyah Putri, Kauman Muhammadiyah plus 54 Taman Pendidikan Al-Quran. Padahal kota ini tergolong kota kecil dengan total luas hanya 23 kilometer persegi. Tapi, lokasinya cukup strategis karena berada di lintasan regional antara kota Padang dengan kota Bukuttinggi plus Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Solok.

Selain suasana relejius yang kental, pemandangan kota Padang Panjang juga nyaman dinikmati kapan saja. Kota ini berada di ketinggian 700 meter lebih di atas permukaan laut yang dibentengi tiga gunung sekaligus yakni Marapi, Singgalang dan Tandikek di bagian utara kota. Yang menarik, kita tak mudah menemukan warung-warung rokok di pinggir jalan. Iklan rokok maupun perokok di jalanan pun sangat sulit saya temukan selama berada di kota ini. Ternyata pemerintah kota ini mengangkat kapak perang terhadap rokok. Tahun 2010, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi dua penghargaan TAPS (Tobacco Advertisement, Promotion, and Sponsorship) Ban dan Award For Significant Performance on Tobacco/Smoke Free Area Development.

Dari kisah para sahibul hikayat dan literatur yang saya baca, semula Padang Panjang merupakan bagian wilayah Tuan Gadang di Batipuh. Di masa Perang Padri kawasan ini dikuasai pemerintah Hindia Belanda sebagai pos pertahanan sekaligus batu loncatan untuk menundukan kaum Padri yang menguasai kawasan Luhak Agam. Kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan sementara kota Padang ketika Agresi Militer Belanda tahun 1947. Di masa silam, kota ini juga dikenal sebagai pasar oleh masyarakat dari daerah di sekitarnya seperti Batipuh, Panyalaian, Koto Baru, Kayu Tanam, Sicincin, dan daerah lain. Sekarang Padang Panjang telah menjelma menjadi salah satu aset bangsa yang berharga sebagai kota dengan identitas yang jelas dan khas.

Secara resmi Padang Panjang punya julukan Kota Serambi Mekah. Ada pula yang menyebutnya Mesir van Andalas. Tapi, saya lebih senang menyebutnya kota santri. Apalagi saat menyaksikan santri-santri menenteng Al Quran pergi mengaji. Saya jadi terkenang kembali lagu Kota Santri yang dinyanyikan grup kasidah Nasida Ria dari Semarang tahun 1980-an.  Beberapa tahun lalu, lagu Kota Santri kembali popular menjelang Ramadhan setelah dikemas dalam balusan musik pop oleh Anang Hermansyah, penyanyi dan pencipta lagu dari Jember. Oh ya, Jember di Jawa Timur itu juga kota santri. Rumah Anang kebetulan tidak jauh dari Pesantren As Shiddiq, tak sampai satu kilometer. Sebelum popular sebagai penyanyi, Anang juga pernah menjadi santri seperti saya di masa remaja dulu. (bersambung)

No comments:

Post a Comment