Thursday 7 April 2016

Rendangnya Beragam, Rasanya Tetap Nendang (VII)

Berada di ranah Minang tanpa mencoba rendang bukan saja tidak afdol, tapi tergolong pelancong yang merugi. Rendang tidak bisa dipisahkan dari Minang. Begitu juga sebaliknya meskipun di luar Sumatera Barat, rendang lebih dikenal sebagai masakan Padang. Padahal rendang tidak hanya ada di kota Padang, tapi di seluruh pelosok Sumatera Barat. Bahkan di beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Brunei, dan daerah lain, rendang cukup populer. Tapi, seperti kata pepatah "lain lubuk lain ilalang, lain pula rasa rendangnya". Nama boleh sama, tapi soal rasa biasanya memang agak berbeda.

Rendang yang dijual di Yogyakarta, biasanya agak berbeda dibanding yang dijual di Surabaya atau Jakarta meski sama-sama dijual di rumah makan Padang. Bisa jadi ini cara mengakomodasi selera lokal agar rendang lebih mudah diterima. Seperti kata petuah Minang, "di mana bumi diinjak di situ langit dijunjung" rendang memang perlu beradaptasi dengan selera lokal. Tapi, ada juga rendang yang jauh dari citarasa aslinya karena dibuat bukan oleh orang Minang. Saya sendiri pernah mengalami makan rendang rasanya justru mirip bistik. Ketika membayar saja baru tahu kalau koki dan pemilik rumah makan ini orang Tegal, Jawa Tengah.

Untuk membedakan rendang buatan orang Minang asli atau bukan, om saya, Mohamad Hatip adalah ahlinya. Dosen Universitas Muhammadiyah Jember ini penggemar kuliner Minang, terutama rendang. Dia juga paham benar, mana teh talua (teh telur) khas Minang yang enak dan tidak. Sedangkan saya cukup menjadi penikmat saja kecuali menemukan rendang yang rasanya kelewat ajib pasti mencari tahu dan bertanya-tanya. Nah, selama berada di Sumatera Barat saya tak perlu lagi khawatir ini rendang asli atau bukan. Sudah pasti asli. Tinggal pilih rendang daging, rendang itiak (bebek), rendang talua (rendang telur dari Payakumbuh), rendang ayam, rendang paru, dan lain-lain.

Setelah icip-icip rendang sejak di Bangko hingga di Bukittinggi, saya mulai merasakan apa yang berbeda antara rendang di Jakarta di sini. Oh ya, rendang di ranah Minang lebih kuat aroma dan rasa bumbunya. Dagingnya lebih padat dan tidak terlalu berlumur minyak seperti rendang yang saya temukan di tempat lain. Meskipun dagingnya lebih padat, tetap saja empuk ketika dikunyah. Bagian dalam daging ketika dipotong atau disuwir terlihat warna coklat kehitaman. Ini artinya bumbu dan rempah-rempah rendang benar-benar meresap.Makin kesat daging rendang biasanya makin tahan lama karena kadar airnya sudah nol. Jadi bakteri pembusuk tidak mungkin hidup di dalam bumbu rendang yang beraneka rupa ini.


Rendang selalu tersedia di meja makan karena menjadi bagian dari gaya hidup orang Minang. Menurut sejarawan Universitas Andalas, Gusti Asnan, rendang dikenal masyarakat Minang sejak abad ke-15. Rendang menjadi bekal di perjalanan ke tempat merantau atau berniaga karena mampu bertahan dalam hitungan minggu hingga bulan. Makanan ini juga disebut dalam kesusastraan Melayu klasik seperti Hikayat Amir Hamzah sebagai bukti rendang sudah dikenal dalam seni kuliner Melayu sejak 1550-an.

Selain itu, dalam catatan Kolonel Stuers tentang kuliner dan sastra tahun 1827 jug aterdapat deskripsi tentang makanan yang mengarah pada rendang. Dalam beberapa literatur Belanda pernah muncul istilah makanan yang dihitamkan dan dihanguskan sebagai teknik pengawetan. Makanan ini diyakini berasal dari kari India yang dibawa oleh saudagar-saudagar India ke Minangkabau pada abad ke-13 dan 14. Rendang adalah proses berlanjutan dari kari India karena dimasak hingga kering dan tidak memiliki kadar air sehingga awet. Belasan rempah dan santan serta cara memasak membuat makanan ini memiliki citarasa yang khas.

Kekuatan dan kekayaan rempah itu bisa jadi yang membuat rendang terpilih sebagai paling lezat sedunia versi CNN International. CNN membuat survey untuk mencari hidangan paling lezat sedunia. Hasilnya ada 50 makanan yang terpilih dalam World's 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) tahun 2011. Rendang berada di urutan pertama disusul nasi goreng yang mengalahkan Massaman Curry dari Thailand. Sedangkan sate berada di peringkat ke-14, tapi tidak dijelaskan apakah sate Madura, sate Tegal, sate Blora, atau sate Padang. Ternyata memang benar, menikmati rendang di ranang Minang memang beda rasanya. (bersambung)

No comments:

Post a Comment