Makanan ini terdiri dari lontong dan mi putih yang disiram sambal kacang tanah dan kuah merah yang encer dengan aroma khas rempah-rempah seperti cengkeh. Potongan daging sapi kecil-kecil biasanya melengkapi kudapan dengan rasa kuah yang gurih ini. Tingkat kepedasan disesuaikan dengan selera pembeli. Rasa gurih dan hangatnya membuat makanan ini lebih cocok dikudap di malam hari, terutama dengan rasa pedas saat cuaca sedang hujan. Apalagi jika ditambah kerupuk bawang putih atau kerupuk puli dan cocolan petis.
Di pagi hari, ada sejumlah penjual di Pasar Glenmore yang melayani pembeli sampai siang hari, sekitar pukul 10.00. Sedangkan di malam hari, hanya ada dua penjual di pinggir jalan raya depan pasar dengan letak yang tidak berjauhan. Meski pada awalnya makanan ini dijual untuk warga Madura, lambat laun campur menjadi kuliner khas Glenmore yang tidak ditemukan di kawasan lain. Ingat Glenmore, pasti ingat campur.
Konon, campur merupakan hasil modifikasi dari lontong campur dari Madura yang dibawa oleh pendatang dari Madura yang berjualan ikan pindang di Pasar Glenmore sekira tahun 1950-an. Semula makanan ini ditujukan untuk orang Madura oleh Bu Samsuni, penjual campur pertama di Pasar Glenmore. Tapi, cita rasa yang unik membuat warga lain juga menggemari makanan ini. Setelah Bu Samsuni meninggal, tradisi menjual campur dilanjutkan oleh Bu Sakdiyah yang juga kerabat Samsuni. Belakangan Bu Sakdiyah berganti menjual nasi pecel dan campur dilanjutkan oleh Mbok No yang terhitung masih kerabat.
Salah seorang anak Bu Samsuni, Kiptiyah memasuki bisnis kuliner ini pada tahun 1980. Lokasi jualan tepat di depan sebuah gardu kecil di perempatan jalan raya Glenmore. Tapi, tradisi kuliner ini dilanjutkan oleh kerabatnya yang lain bernama Sulasi karena Kiptiyah pindah ke Madura mengikuti suaminya. Campur buatan Sulasi cukup dikenal karena rasa bumbunya yang sangat berani sehingga membuat pelanggan ketagihan. Dalam lingkup yang kecil, Sulasi boleh disebut salah satu ikon campur Glenmore.
Kiptiyah yang sempat hilang dari dunia kuliner campur akhirnya kembali setelah beberapa tahun hidup di Madura. Usaha campur yang dulu dia tinggalkan dihidupkan kembali dengan cita rasa yang lebih menggigit. Di pagi hari, dia menjual campur di Pasar Glenmore. Sedangkan di malam hari dia membuka warung tenda di ujung selatan pasar. “Para penjual campur di Glenmore masih punya hubungan kekerabatan,” kata Kiptiyah. Jumlah pembeli biasanya bertambah pada malam minggu atau hari libur. “Paling ramai kalau malam Idul Fitri dan selama Idul Fitri,” katanya.
Kuliner ini memang diwariskan secara turun temurun, terutama di lingkungan keluarga besar Samsuni. Selain Kiptiyah, usaha campur milik Mbok No kini diteruskan oleh anaknya karena usia si ibu sudah cukup lanjut. Begitu juga dengan usaha campur milik Sulasi yang dilanjutkan oleh anaknya karena faktor kesehatan. Lokasi berjualan pun tak pernah berjauhan, hanya di sekitar pasar Glenmore.
Meski awal mula campur diwariskan turun temurun, kini penjual campur tidak terbatas pada keturunan atau kerabat Samsuni. “Sekarang sudah mulai banyak yang jualan campur,” katanya. Bahkan tidak jarang di musim-musim tertentu muncul penjual campur dadakan. Misalnya, dua hingga tiga hari lebaran Idul Fitri, banyak penjual campur dadakan muncul. Kemunculan mereka karena warga Glenmore di perantuan biasanya pulang kampung dan mencari makanan khas ini.
Harga seporsi campur, biasanya satu piring terdiri dari empat sampai lima potong lontong, yang disiram sambal kacang dan kuah merah tidak lebih dari Rp 5.000,- Cukup bersahabat dengan kantong, terutama bagi kaum perantuan. Jadi, jika anda berkunjung ke Glenmore, tidak afdol rasanya jika tidak mengudap makanan ini. Ingat Glenmore, ingat campur.
No comments:
Post a Comment