Friday, 25 March 2016

Panggilan Maleo di Habitat Pari Manta


Teriakan mirip kokok ayam itu terdengar lamat-lamat menjelang subuh. Hari memang masih gelap karena jarum jam baru beranjak dari angka empat. Suara-suara asing itu hilang dan tiba-tiba terdengar lagi ketika saya keluar kamar resort selepas shalat subuh. Kalau suara kokok ayam tentu saja bukan. Suara ayam bekisar, sudah pasti bukan. Suara burung, saya tidak yakin karena belum pernah mendengar sebelumnya. Suara penyu, ya tidak mungkin penyu berteriak-teriak karena memang tidak mengeluarkan suara. Yang pasti, suara itu berasal dari hutan di belakang Sangalaki Resort tempat saya menginap.

Misteri suara aneh itu terjawab ketika sarapan pagi. “Itu suara burung Maleo sebagai tanda pagi sudah tiba,” kata Anton Thedy, Managing Director TX Travel. Saya terkejut karena setahu saya Maleo adalah burung endemik yang hanya hidup di Sulawesi, terutama Sulawesi Tengah. “Nanti kamu lihat sendiri saat island trekking,” katanya. Ya, memasuki hutan-hutan di Sangalaki adalah salah satu acara kami di hari kedua. Selain melihat penangkaran penyu dan jejak-jejak penyu di pinggir pantai, kami berencana masuk hutan di belakang resort untuk melihat Maleo.

Island Trekking pada pukul 2 siang itu dipandu Mas Bambang, Official Sangalaki Resort yang menemani kami snorkeling sambil mencari Pari Manta dua jam sebelumnya. Begitu memasuki semak-semak, suasana hutan dataran rendah yang dekat dengan pantai langsung terasa. Kalau hutan dataran tinggi hawa dingin yang menyergap, di sini justru sebaliknya. Belum 100 meter memasuki hutan, kami sudah menemukan gundukan tanah berpasir. “Ini sarang Maleo,” katanya. Tingginya kira-kira satu meter dari permukaan tanah dengan panjang dua meter dan lebar satu meter. Mas Bambang meminta kami tidak berisik karena Maleo sangat sensitif. Maleo termasuk jenis burung yang tidak suka terbang, tapi berjalan seperti ayam.

Semakin masuk ke dalam hutan, semakin mudah menemukan sarang Maleo. Sarang ini tidak hanya tempat bertelur, tapi juga tempat penetasan. Maleo tidak mengerami telurnya. Telur itu dikubur di sarang dengan kedalaman 50 sentimeter dengan kehangatan 35 derajat Celcius. Butuh waktu 62 hingga 85 hari agar telur menetas. Perilaku Maleo ternyata tidak jauh-jauh beda dengan penyu. Keduanya sama-sama menggali pasir lalu bertelur dan telur-telur itu ditinggalkan begitu saja. Sepanjang tidak diganggu predator seperti biawak, ular, tikus hutan hingga manusia, biarlah alam yang mengurusnya hingga telur-telur itu menetas. Anak Maleo yang baru menetas berusaha keluar dari sarang dalam 24 jam. “Yang menarik justru proses bertelurnya,” kata Mas Bambang.


Ukuran tubuh Maleo tak jauh-jauh beda dibandingkan ayam. “Telurnya itu yang bikin berbeda,” kata Pak Anton. Telur Maleo memang tak sebesar telur ayam. Rata-rata beratnya antara 240-270 gram setiap butir dengan panjang 11 sentimeter. Alamak, besarnya hampir enam kali lipat telur ayam biasa. “Makanya setiap habis bertelur, betina Maleo biasanya pingsan,” katanya. Saya jadi maklum kalau burung seukuran ayam harus mengeluarkan telur sebesar itu. Sudah terbayang betapa berat perjuangan betina Maleo ketika bertelur. Tapi, beruntunglah Meleo betina karena si jantan selalu menemani sejak membuat sarang hingga bertelur.

Dari beberapa literatur yang saya baca, Maleo jantan tergolong burung setia. Sepanjang hidupnya hanya mengenal satu pasangan. Prinsip monogami ini kabarnya dipegang hingga mati. Jadi, kalau Meleo jantan mati, Maleo betina emoh mencari pasangan baru. Karena itu, Maleo betina tidak bertelur lagi jika pejantan pasangannya mati. Rupanya Maleo emoh untuk pindah ke lain hati. Apalagi mencari gebetan lain selama pasangannya masih ada. Prinsip ini tentu menarik jika diselami dan dihayati oleh kita sebagai manusia.

Mungkin karena prinsip monogami dan setia pasangan ini Maleo banyak hidup berkelompok dalam jumlah genap alias sepasang-sepasang. Maleo yang saya temui ketika island trekking juga berjumlah genap: enam ekor. Seperti pesan Mas Bambang, burung ini sensitif dan tidak mudah didekati. Saya sudah berusaha mengendal-endap tanpa suara untuk membidik kawanan burung dengan kaki berselaput sebagai pengeruk tanah dan tubuh berwarna hitam kecoklatan ini. Belum sempat kamera saya arahkan, kawanan burung ini sudah berhamburan menjauh. Belakangan saya baru sadar kalau kaos yang saya pakai terlampau cerah untuk di hutan. Warnanya terlalu kontras dengan pepohonan sehingga gerakan saya mudah mereka kenali. Apalagi tidak jauh dari mereka seekor biawak berukuran satu meter sedang merayap.

Island trekking selama kurang lebih satu jam itu cukup menambah wawasan saya tentang Pulau Sangalaki di Kepulauan Derawan, Kalimatan Timur. Apalagi, sore harinya selepas bermain lagi di laut saya menemukan seekor Maleo yang sedang makan di depan resort penginapan. Seperti saat island trekking, Maleo itu lari terbirit-birit begitu saya mendekat. Tapi, tak apalah karena hari ini saya sudah menambah memori tentang Sangalaki yang dikenal sebagai habitat ikan pari manta.

No comments:

Post a Comment