Setelah gagal dalam pencarian kedua terhadap Pari Manta pada hari kedua di Sangalaki, kami bergegas menuju Pulau Kakaban. Matahari belum begitu terik karena masih pukul 10 pagi lebih sedikit. Dari kawasan tempat pencarian Pari Manta, posisi pulau karang itu tidaklah terlalu jauh karena terlihat dari kejauhan. Benar saja, hanya butuh 20 menit dengan speedboat untuk merapat ke Pulau Kakaban. Setelah membayar tiket masuk, kami menapaki puluhan anak tangga yang cukup tinggi lalu menuruni puluhan anak tangga yang terbuat dari kayu ulin. Danau Kakaban sudah terlihat di depan mata. Inilah danau yang membuat saya penasaran karena ubur-ubur yang tidak menyengat dan berjalan mundur atau lebih tepatnya berenang terbalik.
Saya pribadi sebenarnya tidak asing dengan ubur-ubur karena lumayan akrab dengan laut sejak kecil hingga remaja. Tersengat ubur-ubur juga pernah saya rasakan. Badan gatal-gatal karena ubur-ubur laut juga pernah saya alami. Tapi, dari kejadian ini malah membuat saya paham untuk menghilangkan gatal-gatal itu cukup digosok dengan pasir laut. Untuk mengeluarkan bisa sengat saya gosokkan batu safir yang dipakai cincin oleh seorang teman. Semula saya tidak bisa percaya model pengobatan ini. Tapi, karena teman saya lahir dan besar di laut, saya pasrah dan hasilnya memang mujarab. Nah, mendengar ubur-ubur di Kakaban tidak menyengat, betapa penasaran saya ingin menyentuh dan mengajaknya bermain-main.
Mas Bambang, official Sangalaki Resort memberi pesan agar kami tidak melompat saat masuk danau agar ubur-ubur tidak kabur. Dari dermaga kecil di pinggir danau, kami sudah bisa melihat ubur-ubur berwarna kuning kecoklatan yang berenang ke sana kemari. Dan wow, panorama di bawah air ternyata jauh lebih mencengangkan. Makin ke bagian tengah danau, ribuan ubur-ubur berseliweran di sekitar kita. Ketika saya sentuh dan saya angkat tubuh ubur-ubur sebesar kepalan tangan, saya seperti sedang mengangkat jeli yang lembut. “Ini hasil evolusi selama jutaan tahun,” kata Anton Thedy, Managing Director TX Travel. Ubur-ubur ini bukan hanya menjadi obyek wisata, tapi juga obyek penelitian yang belum terungkap semua misterinya.
Pulau Kakaban seluas 774 hektar ini adalah gugusan pulau karang yang terangkat akibat tekanan geologis sehingga membentuk pulau sejak dua juta tahun yang lalu. Karang ini terangkat hingga ketinggian 50 meter yang membuat air laut terperangkap hingga menjadi sebuah danau seluas 5 kilometer persegi. Ubur-ubur yang ikut terperangkap lambat laun berevolusi kehilangan sengat karena tidak ada predator yang mengancam. Akibatnya sistem pertahanan tumpul karena tidak pernah digunakan. Untuk bertahan hidup di area yang terisolasi, ubur-ubur bersimbiosis dengan dengan alga untuk mendapat makanan. Alga ditempatkan di bagian kaki dan ubur-ubur bergerak terbalik untuk mendapat cahaya matahari untuk proses fotosintesa pada alga bisa terjadi. “Jadi sudah jelas kenapa ubur-ubur ini berjalan terbalik atau mundur,” kata Pak Anton.
Ubur-ubur di Kakaban memang unik dan hanya terdapat di dua tempat di dunia. Satu lagi berada di Palau, Kepulauan Micronesia di bagian tenggara Lautan Pasifik. “Belakangan saya mendapat informasi ubur-ubur sejenis juga ada di Togean, Sulawesi Tenggara dan Misol di Raja Ampat,” katanya. Wah, saya jadi terkesiap dengan informasi terbaru ini. Fauna laut yang unik ini ternyata juga ada di dua tempat lain di Indonesia. Tapi, saya belum mendalami informasi ini apakah ubur-ubur di Togean dan Misol juga berjenis sama dengan di Kakaban. Yang pasti, Indonesia sangat kaya dengan fauna laut yang tak ada habisnya.
Meski Palau juga punya ubur-ubur tidak menyangat, tapi jenisnya hanya dua. Sedangkan di Kakaban ada empat jenis ubur-ubur yang tak menyengat yakni ubur-ubur bulan (Aurelia aurita), ubur ubur totol (Mastigias papua), ubur-ubur kotak seukuran ujung jari telunjuk (Tripedalia cystophora), dan ubur-ubur terbalik (Cassiopea ornate). Ubur-ubur jenis Martigias papua paling banyak populasinya dan paling lincah bergerak. Sedangkan Cassiopeia paling unik karena hanya diam di dasar danau dalam posisi terbalik, kakinya ada di posisi atas. “Pemandangan menarik dan luar biasa,” kata Alex P. Chandra, Chairman Group Bisnis Lestari Denpasar, Bali, tidak lama setelah naik ke dermaga untuk istirahat sejenak.
Selain ubur-ubur, Danau Kakaban dengan kedalaman rata-rata 11 meter menyimpan kekayaan lain yakni delapan spesies ikan. Empat spesies di antaranya tergolong spesies paling utama seperti serinding (Apogon lateralis), puntang (Exyrias puntang), coral fry (Antherinomorus endrachtensis) dan ikan jarum (Zenarchopterus dispar). Ikan jarum ini bentuknya seperti ikan cucut tapi lebih kecil. Kira-kira seukuran jari orang dewasa yang tidak terlalu gemuk. Ika jarum ini cukup mudah saya temukan di pinggir danau. Jumlahnya bahkan mencapai ratusan dalam satu koloni yang bergerak bersama.
Setelah puas menyelami seisi danau, saya juga naik ke dermaga dan memandangi ujung danau. Sepanjang mata memandang, yang terlihat hanya hutan bakau dan pepohonan raksasa yang menancap karang. Berada di Pulau Kakaban rasanya sulit menemukan tanah karena tanaman yang hidup di hutan pulau ini seperti menancap di karang. Begitu juga dengan pantainya yang sepanjang saya lihat tidak berpasir karena langsung berbatasan dengan karang. Beberapa bagian pulau terlihat seperti tebing terjal yang berbatasan dengan pantai. Setelah memandang ke sana kemari, saya jadi paham kalau Kakaban benar-benar pulau karang. Jadi wajar jika pulau ini tidak berpenghuni. Hanya petugas khusus yang berjaga bergiliran sepanjang pagi hingga petang.
No comments:
Post a Comment