Memasuki Bukittinggi, Sumatera Barat ketika jarum jam sudah menepi di angka 11 malam tentu bukanlah waktu yang tepat untuk orang yang terbiasa dengan cuaca panas Jakarta seperti saya. Apalagi hujan lebat baru saja mengguyur dan menyisakan gerimis. Tapi, apalah mau dikata kalau estimasi lama perjalanan darat dari Bangko di Jambi menuju Bukittinggi malah meleset. Dengan mobil pribadi, perkiraan waktu tempuh antara enam sampai tujuh jam. Ternyata ada perbaikan jalan di Kabupaten Sijunjung yang memicu antrian panjang seperti Bukit Barisan.
Beruntung ada lelaki yang baik hati. Baru sepuluh menit antri, dia memberitahu ada jalan pintas di belakang bukit, tidak begitu jauh posisinya. Bang Dedi yang memegang kendali setir mobil putar haluan mengikuti petunjuk si bapak baik hati. Jalan pintas ini, kalau di Jakarta disebut jalan tikus, cukup lebar di bagian ujung. Semakin masuk ke dalam ternyata menyempit, hanya cukup untuk satu kendaraan. Di sisi kanan tebing, di sisi kiri jurang. Tak ada lampu penerangan jalan.
Perasaan sedikit ngeri sempat muncul karena tidak tahu di mana ujung jalan ini nanti. Apalagi yang tersaji di depan mata hanya gelap dan gelap. “Tenang saja, jangan terlalu khawatir karena ini masih orang kita,” kata Bang Dedi. Maksud dia, daerah ini sudah masuk Sumatera Barat, jadi dia tidak begitu khawatir karena penduduknya sama-sama Urang Awak. Benar saja, setelah 30 menit menyisir perbukitan kecil, satu persatu saya menemukan kawasan perkampungan sampai tersambung lagi dengan jalan lintas Sumatera.
Hampir tak ada pemandangan yang nyaman dinikmati sepanjang siang hingga malam ini kecuali ladang sawit, karet, hutan dan Sungai Batanghari. Apalagi pemandangan siang dan sore hanya saya temukan di Kabupaten Dharmasraya. Nama Dharmasraya sudah lama saya ketahui sebagai nama kerajaan melayu yang muncul setelah kejatuhan kerajaan Sriwijaya di abad 13-14 dengan kekuasaan hingga Semenanjung Malaya dan Sumatera. Kini Dharmasraya menjadi kabupaten sejak 7 Januari 2004.
Sebagai bekas kerajaan, Dharmasraya memiliki peninggalan purbakala yang tersebar di Nagari Siguntur, Padang Laweh dan Pulau Panjang. Salah satunya adalah Rumah Gadang Siguntur yang terletak 4 kilometer dari jalan lintas Sumatera. Bangunan ini merupakan tempat bertaht Sutan Tuanku Bagindo Ratu. Lalu ada pula Rumah Gadang Padang Laweh, tempat bertahta Sutan Bagindo Muhammad sebagai Rajat Ibadat. Satu lagi Masjid Tua Siguntur yang berusia 100 tahun lebih dengan atap berbentuk tumpang tiga dari bahan seng.
Sayang memang, peninggalan bersejarah itu kurang terawat dengan baik. Bahkan dari informasi yang saya dengar, batu-batu candi masa silam banyak yang hilang karena diperjual belikan untuk koleksi dan bahan bangunan rumah. Padahal, peninggalan purbakala ini cukup potensial menjadi destinasi wisata sejarah. Meskipun tak cukup waktu menikmati pesona Dharmasraya, tetapi saya mulai menemukan dan merasakan aura Sumatera Barat. Nuansa Minang itu makin terasa ketika perjalanan memasuki Sijunjung.
Di sebuah rumah makan sederhana di tepi jalan lintas Sumatera, saya harus mengisi perut karena sudah delapan jam lebih perut belum terisi. Sepiring nasi goreng Padang warna merah dengan taburan daging sapi digoreng kering sudah cukup menghangatkan badan di tengah gerimis yang tak juga berhenti. “Masih dua jam lagi sampai Bukittinggi, bang,” kata Dedi. “Matikan saja AC mobil nanti biar abang tidak kedinginan,” dia melanjutkan.
Benar saja, suhu udara 16 derajat celcius sudah menyambut. Suhu udara rata-rata di Bukittinggi jika malam makin larut kian menggigit tulang, tapi tetap asyik karena yang dominan tetap hawa sejuk. Tentu tak perlu mandilah jika tiba di daerah sedingin ini di malam hari. Pasang jaket tebal dan celana panjang, tarik selimut supaya badan bugar kembali untuk melanjutkan traveling esok hari. (bersambung)
No comments:
Post a Comment