Thursday, 7 April 2016

Itiak Lado Mudo, Sensasi Bebek Berendam di Sambal (VIII)

Kekayaan kuliner Minangkabau tentulah tak kalah dibandingkan dengan kuliner daerah lain seperti Makassar, Manado, Aceh, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, maupun Banjarmasin dan lain-lain. Dengan cita rasa yang berbeda-beda, masing-masing daerah memiliki keunggulan dan identitas sendiri dibandingkan kuliner daerah lain. Keragaman ini justru menjadi aset berharga Indonesia di dunia icip-icip maupun masak-memasak. Mau meracik rempah apapun hampir semua tersedia di sini. Mau mengolah daging apapun juga tidak susah mencari di sini. Jangankan daging sapi, domba, lembu, ayam, burung, hingga bebek dengan mudah didapatkan di sini.

Mencoba sengatan beragam rendang selama di ranah Minang sudah saya lakukan. Nah, sekarang giliran bebek yang dimasak dengan sambal cabai hijau yang dikenal dengan itiak lado mudo. Ada banyak tempat yang menawarkan salah satu menu andalan Bukittinggi ini. Tapi, di antara penjual itiak lado mudo, beberapa rumah makan yang berada di tepi Ngarai Sianok bisa menjadi rujukan. Selain menawarkan pemandangan yang eksotik, bayangkan makan di warung di tepian sungai dengan latar tebing kokoh Ngarai Sianok yang menjulang. Saya ingin menuntaskan rasa penasaran tentang kelezatan itiak lado mudo di tempat aslinya.

Sebetulnya saya sudah sering menyantap bebek mulai Bebek Goreng Pak Slamet, Bebek Ireng Cak Bas, Bebek Kaleyo, Bebek Goreng RM Lala, Nasi Bebek Khas Madura, sampai bebek yang tidak punya merek sekalipun seperti warung-warung di pinggir jalan. Namun, saya tidak pernah lupa bebek sambal hijau asli dari Minang pemberian Setri Yasa, teman sekantor di Tempo dulu. Yang ini asli olahan tangan orang Minang. Kebetulan ibu teman saya ini memiliki rumah makan sejak 27 tahun silam. Jadi saya percaya pasti lezat. Ah, benar saja. Saya merasakan sensasi bebek yang berbeda dengan balutan sambal cabe hijau muda yang halus.

Memori itiak lado mudo ini kembali muncul setelah Umar Darmaji, profesional IT di Navcore Nextology berbagi cerita. Dia bilang baru saja membeli seekor itiak lado mudo di Ngarai Sianok yang dikirim khusus pakai pesawat ke rumahnya di kawasan BSD Tangerang. Sambil senyum-senyum dia sering mengangkat dua jempolnya ketika saya tanya bagaimana rasa bebek goreng yang terbang dari jauh itu. “Wes pokoke uenak tenan, mas,” katanya. Itu bahasa andalan Umar kalau diminta mendeskripsikan kelezatan sebuah makanan. Yang saya ingat dari soal bebek ini hanya nama Ngarai Sianok tanpa tahu warung apa yang menjualnya.


Ah benar saja. Setelah bermain-main di Goa Japang di tengan kota Bukittingi, saya memutuskan ke Ngarai Sianok mencari si itiak lado mudo. Pilihan saya warung di pinggir tebing yang berdiri di tepian sungai. Begitu bebek itu disajikan, wowww ini dia yang saya cari. Potongan bebek itu nyaris tidak terlihat karena terendam di dalam cabe hijau muda yang diolah menjadi sambal. Jadilah potongan itik itu seperti bebek sedang berenang. Pantas aja ada yang bilang ini bukan itiak lado mudo, tapi itiak baranang di sambal.

Rahasia kelezatan itiak lado mudo bukan hanya terdapat pada cabai yang digunakan, tapi juga rempah lain yang menjadi campuran bumbu masakan ini. Bumbu ini terdiri dari bawang merah, bawang putih, kunyit, dan lengkuas yang dihaluskan bersama cabai. Selain itu, Bebek yang dipilih adalah bebek muda yang berusia enam bulan karena lebih empuk dagingnya. Bebek yang sudah dipotong dan dibersihkan dibakar untuk menghilangkan bulu yang menempel. Setelah itu, bebek digodok dengan bumbu racikan selama 48 jam atau satu hari satu malam penuh. Pantas saja kalau bumbu tadi benar-benar meresap ke dalam lapisan daging.

Mau tahu berapa banyak cabe yang digunakan untuk merendam bebek-bebek ini? Bayangkan, setiap satu ekor bebek dimasak bersama 0,5 kilogram atau lima ons cabe hijau kering. Jadi, setiap potong daging (satu ekor dipotong jadi empat porsi) maka setiap satu potongnya dimasak bersama 1,25 ons cabe. Kalau akhirnya rasa pedas itu cukup kuat, tetap saja terasa nikmat dan lezat dimakan karena daging bebek yang empuk dan gurih. Menikmati daging bebek yang empuk di bawah Ngarai Sianok ini memang membuat lupa. Tak terasa, saya menghabiskan tiga potong bersama sambalnya setandas-tandasnya tanpa sisa. Apalagi siang itu hari sedang mendung dan hujan turun ketika daging bebek muda itu mulai menyentuh lidah saya. (bersambung)

No comments:

Post a Comment